Bersama Kuasa Usaha at Interim KBRI Cairo, Teuku Darmawan

Dari kiri: Syafruddin Mukhlis (Ketua DPD Mansoura), Nur Furqon Nashrullah, Lc. (Ketua DPD Tanta), Amrizal Batubara, S.S. (Presiden PPMI Mesir), Teuku Darmawan (KUAI KBRI Cairo), A. Solikhan (Ketua DPD Zagazig), Muhlasson Jalaluddin, Lc. (Staf Atdikbud KBRI Cairo).

Gerakan 100 Kunci

Ketua DPD PPMI Tanta, Nur Furqon Nashrullah Mengawali Kepemimpinannya dengan Program Gerakan 100 Kunci.

Wisuda Mahasiswa Indonesia

Resepsi Wisuda Mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar.

Pelantikan Pengurus DPD PPMI Tanta Periode XIX Masa Bakti 2013-2014

Pelantikan Pengurus DPD PPMI Tanta pada Senin, 9 September 2013 di Rumah Anggota.

HOTLINE

HOTLINE Perlindungan WNI di Mesir: +201022229989.

Jumat, 30 Agustus 2013

Urat Leher Burhan

I
EMBUN jantan sudah turun. Pertanda malam segera beralih jadi pagi. Burhan meraih pena dan buku tulis, tebal tiga ratus halaman. Ia pun mulai menulis: Ini masih mengenai sunyi, Bu. Bukan sunyi penjara yang memancing menung-murung; sunyi yang membuat mata seorang tahanan cembung dan pipinya cekung. Bukan. Ini perihal sunyi yang berdenyut hangat di urat leherku. Rentakkan tenaga yang menjalar-menukik ke pucuk jantung. Bersama sunyi itu, bersama tenaga itu, sejalan guliran hari, aku masih ingin memacu tungkai ini berlari. Biar aku kayuh lagi udara dengan kedua daya di tangan. Sekalipun masih harus muncul-menghilang pada satu lapis dimensi, lalu menyeberang ke lapis dimensi yang lain lagi. Tetapi, Bu, bagaimana akan berlari, badan sebatang penyimpan denyut yang masih menjalar melintasi urat leherku ini kini sedang terkurung…

Burhan menutup buku catatannya itu dan menaruhnya di bawah bantal. Itulah catatan untuk ibunya. Sekalipun ia tahu, ibunya tidak mungkin bisa membacanya. Paling tidak, ia telah mengeluarkan segenap perasaan yang masih tergantung tak bertali untuk ibunya. Seterusnya, ia pun mencoba untuk masuk ke dimensi tidur.
II
Seperti sering diucapkannya, hidup laki-laki 42 tahun itu seolah hanya mengenal dua dimensi. Pertama, kenyataam. Kedua, kemayaan. Ia berada dalam kenyataan ketika dirinya pulang ke sebuah rumah di sudut Kota Tua, tidak jauh dari Emma Haven, sebutan pelabuhan sebelum nama dan tempatnya dipindahkan ke Teluk Bayur. Kerumah batu bergaya kompeni itu ia akan mengusung letih di badan, mengetuk pintu, lalu seorang ibu muncul membukakan. Ibunya yang buta sudah sangat hafal dengan tempo dan bunyi ketukan pintunya. Seperti biasa, setelah pintu terbuka, Delima, sang ibu, akan segera meraih kepalanya ke dalam pelukan. Meraba dan mengusap wajahnya seakan mengukur jejak kenangan yang menyisa di situ. Kata sang ibu, ia masih bisa merasakan bahwa wajah itu sangat mirip dengan wajah mendiang suaminya.
Rasa hangat pada urat lehernya juga tekanan napas yang berembus di hidungnya juga sama dengan urat leher dan napas sang ayah. Menurut ibunya, itu bukan semata karena dirinya adalah darah daging sang ayah. Tetapi, hidup yang ia pilih dan yang sang ayah lakoni pun ada kesamaan: sering tidak pulang karena mengurus pekerjaan. Sekalipun mampu membelanjai keluarga dan hidup dalam kecukupan, pekerjaan itu pun tak pernah jelas. Pekerjaan itu tidak ada namanya.
Sering diceritakan ibunya, kalau setiap kali pulang ia suka menempelkan telapak tangannya di urat leher ayah, menjatuhkan kening di pangkal lengan ayah, dan merasakan hangat napas ayah mengembus ubun-ubunnya. Bila sudah demikian, pertanyaan yang pertama kali ditanyakan ibu pada ayah, juga yang menjadi pertanyaan pertama padanya: bagaimana keadaan di luar?
Hanya jawabannya yang berbeda. Jawaban ayahnya: Di luar tak pernah aman, Puan. Titik-titik perbatasan sudah dikepung tentara pusat. Sementara tentara yang dianggap memberontak tidak mau diajak berunding. Perang sulit dielakkan. Aku sudah yakinkan pihak pusat, pernyataan tentara yang dianggap memberontak itu hanya bentuk ketidakpuasan. Lebih tepatnya bukan pemberontakan. Hanya koreksian. Sayang seribu sayang, agen-agen asing telah lebih dulu menggelar dagangan mereka; menebar provokasi ke kepala setiap orang. Kepada teman-teman di daerah ini, aku juga sudah sampaikan keberatan, ongkos revolusi itu mahal. Korbannya tidak sedikit. Sayang beribu sayang, agen-agen asing, dengan motif yang sama: menjual senjata, sudah mendahului niatku.
“Sekarang bagaimana lagi?” Itu pertanyaan ibu untuk ayah berikutnya. “Istrimu ini buta, tidak bisa dengan terang melihat kenyataan dan memberimu pendapat.”
“Kita dilahirkan tidak untuk mengeluh. Kehidupan tidak menerima para pengeluh. Selalu ada jalan keluar. Aku saja yang belum menemukannya!” tanggap sang ayah.
Kalau pertanyaan yang sama disampaikan pada Burhan: bagaimana keadaan diluar, jawab Burhan: Di luar selalu tampak aman, Bu. Tetapi sesungguhnya, negara ini di ambang kehancuran. Bom terror diletuskan dengan agama sebagai kambing hitam. Penyakit ditebar setelah obatnya siap diperdagangkan. Korupsi yang kecil dibongkar untuk menutupi korupsi yang besar. Sengketa perizinan dan penguasaan tanah antara pribumi dan asing sengaja tidak diselesaikan agar selalu ada isu untuk menyangkutkan ketergantungan rakyat kecil terhadap penguasa.
Perang sesungguhnya sedang berlangsung sengit. Tapi perang zaman ini tidak sama dengan perang zaman ayah, Bu. Zaman ayah, perang dengan peluru. Zaman saya ini, perang siasat dan tipu muslihat. Satu pihak menciptakan kesusahan bagi pihak lain yang tidak disenanginya. Pihak yang satu lagi senang melihat lawannya susah. Semua itu mereka tebarkan melalui media informasi. Mereka kuasai informasi. Itulah sebabnya, mengapa ibu saya sarankan tidak usah terlalu sering mendengarkan berita di radio atau televisi. Segalanya telah disusupi pihak-pihak yang ingin mencelakai kemurnian berpikir kita dan ujung-ujungnya menguras kekayaan tanah air kita ini. Ketimpangan yang memantik saling tidak senang itu biasanya digelar dan dijual dari gelombang radio, monitor televisi, dan jejaring internet….
“Sekarang bagaimana lagi?” Pertanyaan sang ibu berikutnya, persis pertanyaan untuk ayahnya dulu. “Ibumu ini buta. Mungkin tidak bisa memberimu pendapat dengan terang. Sejak rumah ini digempur secara mendadak, entah batu entah peluru menghancurkan kaca jendela yang sedang ibu bersihkan. Serpihannya menyusup ke dalam mata ibu yang kanan. Belakang kepala ibu terbentur benda keras. Ibu buta sebelah. Namun, lambat laun penglihatan yang kiri pun mulai rabun. Hanya hati ibu yang mudah-mudahan masih bisa membaca cahaya. Melihat kenyataan hidup kita dengan terang. Pesan ibu, kalau memang benar pekerjaanmu untuk bela negara, ibu merestui berjuang. Silahkan. Ikuti jejak ayahmu. Hanya saja, kurangilah kedekatan dengan partai politik itu. Kalau menurutmu memasuki salah satu partai untuk menggali informasi tidak apa-apa, tapi jaga jarak, Nak. Apalagi partai penguasa. Ibu nyaris susah bernapas setiap kali mendengar berita di radio dan televisi mengenai tingkah parta yang banyak itu….”
 
III
Hiruk-pikuh di luar yang jarang sekali ia rasakan mencerahkan hati, sesampai di rumah, seketika hatinya sejuk kembali. Apalagi setelah telapak tangan ibu menyentuh urat lehernya. Seketika, tanpa ditarik pun, kepalanya akan jatuh di pelukan ibu. Kepala itu seakan ingin berlama-lama di sana. Seakan ingin kembali merasakan damai masa menyusu. Merengek menggeliat di timangan ibu.
Namun, belakangan ada satu pertanyaan ibunya yang selalu membuat kepalanya mendadak tegak: Kapan, ya, ibu punya menantu? Sekenanya, dia akan cepat menjawab: Ketika jodoh anak ibu ini sudah ditemukan, saat itu ibu pasti punya menantu….
Sebenarnya, dia ingin mengadu pada ibunya, betapa rumitnya menemukan jodoh yang cocok dengan kehidupannya. Betapa sering pekerjaan yang digelutinya membuat dia kehilangan waktu untuk memikirkan itu. Tapi, tidak kunjung jadi. Dia masih merasa mampu menyelesaikannya sendiri.
Pranita, perempuan yang sudah didekatinya beberapa tahun belakangan dan sudah dikenalkan pada ibunya, belum sepenuhnya berhasil menguatkan hatinya untuk segera meminang. Apalagi, ibunya justru bertingkah ganjil kalau bicara soal Pranita.
“Apa tidak ada perempuan lain, selain jurnalis itu? Katamu, teman-teman seorganisasimu, para relasimu banyak. Ada guru, dokter, bidan. Kenapa belum ada yang diperkenalkan pada ibu?
Sembari itu, ibu sarankan, carilah pekerjaan yang tetap. Pekerjaanmu yang serabutan itu tetap aneh menurut ibu. Kadang-kadang bekerja sama dengan para penambang batu bara, dengan perusahaan minyak. Pada kesempatan yang sama bergabung pula dengan jamaah pendakwah; dengam misionaris. Lama-lama kamu bisa tidak menemukan waktu yang cukup untuk meyakinkan perempuan yang ingin kamu nikahi bahwa dirimu adalah laki-laki yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Kamu pernah bilang, kalau kamu sedang mengabdi pada negara  meski tanpa nomor induk pegawai atau kartu anggota. Tapi kasat mata orang pertama kali tidak melihat itu. Banyak pun uang yang bisa kamu dapatkan, tapi kalau tidak memiliki ketetapan, tidak jelas sumbernya, bisa menimbulkan keraguan. Jangan-jangan kamu belum juga memutuskan menikah hingga kini, gara-gara itu.
Ingat, Han. Ayahmu dulu hilang tanpa tahu di mana rimbanya, mati tanpa tahu di mana nisannya, juga karena keinginan yang sekarang sedang kamu pakai. Hal yang satu itu, ibu harap jangan terulang. Kamu mau hilang tidak dicari, mati tidak dihormati, hidup berkalang urat leher sendiri seperti mendiang ayahmu?
Jadi, karena memang sudah waktunya, lekaslah berbini. Kalau Pranita, aduh, bukannya ibu tidak restu, ibu hanya cemas kalau istrimu Pranita. Dia seorang jurnalis. Kapan waktunya bagi seorang jurnalis benar-benar siap menjadi seorang ibu. Kalau menjadi istri saja mungkin dia mampu. Kalau menjadi ibu? Entahlah. Ibu sungguh tidak mampu untuk tahu….”
Dia sebenarnya ingin memberi tanggapan. Mengenai Pranita yang sudah sangat dekat dengannya kurang lebih enam tahun adalah perempuan baik. Ia juga punya cita-cita yang sama dengannya: berbuat untuk kemajuan orang banyak. Pranita perempuan optimis. Dia termasuk perempuan yang memahami kehidupan dan pekerjaan. Pranita itu, cantik. Dia anak tentara. Dan seterusnya. Namun tidak jadi, lantaran tidak ingin mengecewakan perasaan ibunya.
IV
Rincian kisah mengenai Pranita mengabur setelah salah satu keluarga kerabat mendiang ayah Burhan yang sejak PRRI merantau ke Pontianak pulang kampung. Sudah lama mereka tidak berkumpul. Di sinilah Burhan diperkenalkan dengan salah seorang cucu kerabat sang ayah. Evalisa, seorang dokter spesialis jantung yang oleh para kerabat sering diperolok-olok ketika reuni keluarga besar itu; perawan tua diperkenalkan dengan bujang lapuk.
Evalisa sudah 39 tahun belum juga berjunjungan. Burhan, 42 tahun, juga belum berinduk beras. Maka berdoalah seluruh kerabat: kiranya bereka berjodoh. Agar pulang kampung mereka tidak terasa sia-sia. Akan terjalin lagi benang-benang yang putus setelah perang saudara.
Ibu Burhan terharu. Kepada Burhan dibisikkan: “Apakah doa ibu akan terkabul, Nak? Ibu mau kamu menikahi Evalisa. Menurut ibu, jika hidupmu akan dihabiskan untuk pekerjaan serabutan yang menurutmu mengabdi pada negara, seorang dokter rasanya lebih siap menerima kehidupan macam begitu. Apabila dia segera mengurus kepindahannya ke sini. Jadi….” Panjang lebar sang ibu memberi penjelasan.
Burhan mengamini saja. Kebetulan, kejadian itu beriringan pula dengan kesibukannya mengurus keterlibatannya dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan beberapa perusahaan yang diberitakan menggelapkan uang Negara triliunan rupiah. Ia tidak hirau lagi dengan rencana-rencana mengenai jodoh. Saat seperti inilah yang ia namakan dengan dimensi kemayaan dari hidupnya. Masuk ke lingkaran benang kusut dan carut-marut.
Sekalipun tetap menjaga komunikasi dengan Evalisa, yang terjadi antara mereka setelah berbulan menjalin komunikasi hanyalah perdebatan yang menegangkan urat leher. Ini tak pernah ia beri tahu pada ibunya. Sungguh, bukan karena Evalisa dokter atau dirinya seorang yang hidup di dua dimensi. Ini jelas karena watak masing-masing. Burhan keras dengan prinsipnya. Evalisa pun kukuh dengan pandangan hidupnya.
V
Suatu kali Ia terilbat dialog panjang dengan Evalisa. Dengan nada tegas EvaIisa menyerangnya. Pada prinsipnya, Burhan setuju argumentasi Evalisa, namun cara Evalisa menyampaikan yang tidak ia sukai. lni terjadi setelah ia menjelaskan pekerjaannya kepada Evalisa. Pekerjaan yang menurut ibunya sendiri adalah pekerjaan serabutan yang mahaaneh. Pranita saja, yang sudah bertahun ia pacari, tidak pernah berdebat soal pekerjaan dengannya. Yang dipahami Pranita, Burhan itu seorang konsultan politik; aktivis kemanusiaan yang bertahan hidup dengan kecakapan berkomunikasi. Tapi, respon Evalisa ía rasakan berlebihan.
“Sepertinya kamu benar-benar telah membiarkan dirimu sama dengan mesin, Han,” demikian kalimat Evalisa setelah Burhan menyampaikan keprihatinannya mengenai perangai kapitalis di Indonesia.”Entah siapa, tanpa kamu tahu, telah memasukkan dinamo ke dalam tempurung kepalamu. Setiap detil gerak pikiran dan perbuatanmu bergantung pada arahan pengendara mesin. Menyibukkan diri karena ingin hidup nyaman dan bebas dari ketakutan. Realistis, dong!
Kumpulkanlah seluruh peristiwa hidup yang dilalui seseorang selama ia hidup. Sejak masih berbentuk mani seorang bapak, kita sudah dimasukkan ke dalam lingkaran bayar-membayar itu. Bagi yang sudah hidup dengan teknologi, bapak diminta ibu memeriksakan kualitas spermanya ke laboratorium, memastikan apakah ia bisa membuahi atau tidak.Ibu juga memeriksakan rahimnya. Apakah bisa dibuahi atau tidak?
Ibu kita pun hamil. Peristiwa bayar-membayar pun terjadi. Hitunglah kira-kira berapa biaya untuk perawatan diri selama mengandung. Kita pun lahir, rincikan pula berapa uang yang harus keluar demi menyambut kelahiran kita. Kita dibesarkan, disekolahkan ke TK, SD, SMP, SMA, kuliah, dan seterusnya.
Dalam pekerjaanmu, yang kamu istilahkan dengan labirin tak berpintu itu pun tak luput dari bayar-membayar, bukan. Sebaiknya, jangan munafiklah!
Pada kondisi lain, kau tak ada bedanya dengan hantu. Bekerja dalam lintasan gaib: pada dimensi yang rumit dan tidak bias dijelaskan secara indrawi. Kau terkurung di sebuah Iabirin tak berpintu. Tidak kunjung bisa terlepas dari upah mengupah.  Mengapa sok idealis, mengatakan profesimu itu berdasarkan panggilan kemanusiaan sedikit lebih terhormat dari profesiku sebagai dokter yang hidup di atas nyawa pasien. Sejahtera di tengah orang yang sekarat?”
Evalisa terpancing untuk marah. Burhan merasa berhasil. Itulah yang diinginkannya. Memahami seperti apa pemahaman Evalisa terhadap pekerjaannya, terutama terhadap hubungan mereka.
VI
Selain itu, Burhan juga ingin memancing sebuah dialog; tukar pikiran; bersilih perasaan. Sekiranya doa ibu dan keluarganya terkabul, Evalisa jadi istrinya, tentu harus ada komunikasi antara mereka. Itu saja. Namun Evalisa terpancing ke perdebatan; bersitegang urat leher. Burhan hanya mengemukakan sejumlah temuannya, betapa tidak berkutiknya profesi kedokteran di negara ini.
Kata Burhan: Perhatikan saja beberapa kasus dari shampo sampai odol; dari makanan berpengawet ke bahan kosmetik; dari pembalut sampai obat keputihan; perang bisnis farmasi dengan perusahaan rokok. Apalagi obat kanker, diabetes, dan jantung, banyak berasal dari kiriman asing untuk diperdagangkan di pasar kita. Dokter kita masih berdiri di posisi konsumen!
VII
Bagi Evalisa, Burhan terlalu ideal memaknai keadaan. Terlalu detail merinci persoalan. Seperti ketika mendiskusikan apa yang sehari-hari terjadi. Dan lintasan rel kereta api hingga ke sepak bola. Dan pencurian ikan di perbatasan sampai ke mafia pelabuhan. Distribusi BBM ke permasalahan pupuk. Tarif dasar listrik sampai ke takdir guru honorer di pedalaman yang lengang. Inilah yang terus bersengketa dalam kepaIa dan dada Burhan. Inilah yang membuat Burhan tidak pernah diam dan bekerja serabutan. Bagi EvaIisa, Burhan seperti filosof yang kesiangan mengusung pertanyaan-pertanyaan klasik yang sudah Iebih dulu dilakukan orang lain.
“Kepada siapa nasib bangsa ini kelak diberikan? Apakah kepada para dokter yang kuliahnya mahal minta ampun itu?” Ini pertanyaan Burhan pada Evalisa yang juga membuat mereka bersitegang urat leher.
“Atau kepada generasi lampu sorot yang bergoyang di bawah kerlap-kerlip lampu panggung pop dangdut? Kau, begitu juga aku, sering menyaksikan sekumpulan anak muda menyeka liur di sudut bibir melihat gemulai goyang penyanyi dangdut. Setelah panggung usai, beberapa orang dalam sebuah acara di televisi mengaku, tidak tahan untuk tidak onani. Goyangan pinggul penyanyi dangdut begitu lekat di kapala mereka, memantik birahi. Namun apa daya, badan hanya sebatang bujang yang malang.
Atau kepada para calon sarjana yang berjuta banyaknya, menunggu diwisuda untuk kemudian terkurung dalam kebingungan. Bingung dengan cara apa meneruskan hidup? Semetara itu, adik-adik mereka di SMK sudah berbekal keahlian. Misalnya, bagi yang mengambil jurusan otomotif sudah bisa merakit mobil.
Bagaimana kalau kepada anak putus sekolah. Bisa juga anak yang memutuskan hubungan dirinya dengan sekolah. Sekolah itu bagi mereka hanya pabrik. Sekolah hanya jelmaan loket penagih utang. Di sana, di gedung yang telah dilokalisasi itu, yang paling sering terjadi hanyalah peristiwa membayar dan dibayar, tidak jauh berbeda dengan bank. Mereka yang memutuskan diri dari sekolah itu berpikir, tiada gunanya menghabiskan umur di selingkaran pagar sekolah. Lebih baik umur dihabiskan uniuk mengembangkan diri sepenuhnya di alam lepas. Tanpa sekolah, juga bisa mengumpulkan uang sebanyak- banyaknya.”
VIII
Burhan, tidak cukupkah belajar dari sejarah keluarga besar kita? Ibu bapak kita lahir dan besar sepanjang perang saudara bergejolak. Mereka hidup tanpa keinginan bersama Iebih lama. Sewaktu-waktu bisa saja salah seorang mereka mati mendadak. Musim paceklik yang panjang. Jangankan beras, garam susah didapat. Orang-orangkembali menanam ketela dan talas. Setiap kepala keluarga membuat lubang di tebing-tebing bukit. Kalau ada pesawat tempur melintas setiap orang bersiap bersembunyi ke dalam lubang itu. Kakek kita memilih jadi tentara. Nenek kita tinggal di rumah, membesarkan ibu dan adik-adiknya. Kakek bergerilya dari hutan ke hutan. Nenek berpindah dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung menyelamatkan untung malang…”
Evalisa tidak mau kalah. Sambil tersenyum tipis, ia beberkan pula alasan-alasannya. “Lantas, kapan bisa menempuh hidup ini dengan nyaman kalau dalam pikiranmu itu melulu persoalan?”
IX
Mataharl meninggl. Embun jantan sudah lama menguap dan kembali pulang ke ruang yang tak tersigi. Burhan duduk berhadapan dengan ibunya. Ini pekan ketlga dia jadi tahanan jaksa Pengadilan Tipikor. Sudah dua kali ia disidang. Dimintai keterangan terkait kasus yang melibatkan dirinya. Selaku aktivis partai politik ia diduga kuat ikut serta menyalahgunakan anggaran pembangunan waduk yang akan dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air di perbatasan provinsinya. Dan ini kunjungan Dalima, ibu Burhan, yang ketujuh. Dua kali ditemani Evalisa. Karena sibuk mengurus kepindahannya ditambah perasaannya yang tidak begitu berempati, Evalisa tidak pernah lagi tampak mengantarkan Dalima ke LP. Lima kunjungan berikutnya Dalima ditemani pengacara Burhan.
Tangan ibunya tak pernah lepas dari Ieher Burhan. Masih dengan sentuhan yang sama, memeriksa denyut yang merentak di situ.
“Sabar, ya, Nak. Kamu anak tunggal ibu. Cita-cita ibu, cita-cita ayahmu, manunggaI dalam dirimu.” Di sela isak, ibunya tampak berusaha tenang.
“Ibu yang harus bersabar. Ibu tidak boleh sedih, ya. Mata ibu tidak boleh berair,” kata Burhan sambil mengusap pipi ibunya. Membersihkannya dari guliran air tangis yang merambat di sana. Tersentak pula keinginannya melekatkan tapak tangan ke urat leher ibunya.
“Kamu jangan khawatir. Denyut yang ibu miliki masih kuat. Karena ibu yakin, kamu tidak bersalah. Sangat yakin!”
X
Pranita bergegas mengejar Dalima yang berjalan hati-hati dengan bimbingan sebilah tongkat dibantu pengacara Burhan meninggalkan ruang besuk LP. Selama Burhan dipenjara, ini kali pertama Pranita sempat berkunjung. Dua bulan terakhir ia ditugaskan ke luar kota. Pranita ingin sekali mewawancarai Dalima. Sebagai seorang jurnalis, bukan sebagai seorang perempuan yang mencintai anaknya. Ia lngin mengungkap seputar perasaannya sebagai seorang ibu yang anaknya sedang ditahan karena dugaan korupsi triliunan rupiah.
“Bu, tunggu sebentar. Saya ingin bersama dengan ibu.” Pranita Iangsung merebut bimbingan tangan Dalima dari pengacara itu sambil memperkenalkan diri dan mohon izin ditinggalkan. Ia bimbing Dalima ke mobilnya yang sengaja diparkir di pekarangan belakang LP guna menghindari kejaran wartawan lain yang sudah berkumpul di halaman depan. Ia ajak Dalima ke sebuah kafe yang tenang, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kota yang belum lama ini diguncang gempa bumi itu.
Di kafe yang menyediakan menu minuman tradisional itulah Pranita menanyakan hal-hal menyangkut perkara yang menjerat Burhan hingga terpaksa mendekam di penjara atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Dalima menjawab semua yang ditanyakan Pranita. Mulai dari kebiasaan Burhan sejak kecil sampai kesenangan Burhan setelah besar. Dari persamaan watak Burhan dengan ayahnya sampai ke cita-cita Burhan menjadi seorang diplomat negara.
Mendengar paparan Dalima, Pranita tampaknya merasakan ada keganjilan pada kasus Burhan. Penjelasan Dalima tidak sedikit pun bisa dijadikan tanda bahwa Burhan adalah seorang koruptor yang rakus sebagaimana diberitakan banyak media. Yang tergambar hanyalah: Burhanuddin, seorang anak berkarakter baik. Seorang anak yang hormat pada ibunya. Punya prinsip dan semangat kuat untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar Pranita termenung, agak lama. Ia dilamun tanya: ada apa di balik ini semua?
Dalima sendiri merasakan ada kepuasan dapat menjawab seluruh pertanyaan Pranita. Ia telah menyampaikan yang sebenarnya. Ia berharap berita yang nanti disiarkan Pranita bisa membuka jalan terang atas kasus anaknya.
XI
Dalam sel tahanan, ditemani buku tulis tiga ratus halaman. Burhan sering terlihat menuliskan sesuatu sambil mengusap urat lehernya dan menggeIeng-gelengkan kepala. Tidak ada tanda bersalah di wajahnya. Wajahnya adalah wajah orang tercengang. Entah apa yang sedang membuat bibirnya kadang terenyum, kadang mengatup rapat dan denyut di urat lehernya terasa mengencang. Satu hal yang ia sadari, inilah risiko memilih pekerjaan yang menurut ibunya serabutan dan mahaaneh itu. Jika esok atau lusa ibunya kembali berkunjung dan ia masih melihat raut kesedihan di wajah ibunya, ia berniat akan memberi tahu bahwa dirinya, anak tunggal ibu, selama ini bekerja sebagai intelijen negara. Ia ditugaskan untuk membongkar sindikat korupsi di negeri ini. ***

Penulis: Zelfeni Wimra (Cerpen Jawa Pos, 3 Juni 2012)

Kamis, 29 Agustus 2013

Perempuan & Olahraga Dalam Perspektif Islam


Islam sebagai agama yang hanif (lurus) sangat memperhatikan perempuan, ini tampak jelas dalam al-Quran dan Sunnah yang menjadi sumber hukum utama dalam Islam. Pembacaan yang cerdas terhadap al-Quran dan Hadits akan mengantarkan kepada sebuah informasi ilmiah tentang perhatian Islam terhadap hak-hak perempuan, baik yang berupa materi maupun non-materi. Keberadaan perempuan sebagai salah satu anggota masyarakat, ikut andilnya dalam berbagai kegiatan dan berpartisipasinya di dalam semua urusan duniawi tidak lepas dari pantauan agamanya (Islam). Ini tidak lain karena Islam sebagai agamanya ingin memberikannya yang terbaik di dunia dan akhirat, dengan cara dibuatkannya peraturan-peraturan yang merinci mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Islam tidak pernah mengekang pemeluknya untuk melakukan apapun, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri, termasuk perempuan dalam konteks ini. Perempuan diberi kebebasan seluas-luasnya, termasuk dalam bidang olahraga, baik yang berasal dari Negara Islam maupun non-Islam. Dalam tulisan singkat ini, saya mencoba mengkaji hukum olahraga bagi perempuan, yang akhir-akhir ini marak dikembangkan oleh berbagai Negara.

Sebelum mengakaji batasan-batasan olahraga yang diperbolehkan dan yang di larang bagi perempuan, saya ingin menukil Hadits yang berkenaan dengan olahraga pada masa Nabi, di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Salamah bin Abdur-Rahman bahwa sayyidah Aisyah Ra. berkata,”Sâbaqanî rasulullah Saw. fa sabaqtuhu”, Rasulullah berlomba denganku, maka aku kalahkan dia. Dalam Hadits lain diriwayatkan, “Kânat ‘aisyatu ma’an nabi shallalLah ‘alaihi wa sallam fî safarin qâlat: ‘sâbaqtuhu fa sabaqtuhu, fa lammâ hamiltu al-ahma sâbaqtuhu fa sabaqanî fa qâla, hâdzihî wa tilka as-sabaqatun’”. 

Hadits di atas menunjukkan bolehnya perempuan melakukan olahraga, bahkan dalam beberapa keadaan, olahraga menjadi lebih dari sekadar boleh hukumnya.
Fuqaha’dari berbagi madzhab membuat dlawâbit, batasan-batasan, dan hokum-hukum olahraga bagi perempuan sesuai dengan beberapa pertimbangan syariat dan membaginya menjadi tiga bagian. Pertama, olahraga itu sendiri yang di haramkan, seperti judi, dadu, mengadu hewan, dan lain-lain yang diharamkan syariat Islam.

Kedua, Riyâdlât lâ tansajimu ma’a takwîni al-mar’ah, olahraga yang tidak sesuai dengan tujuan diciptakannya perempuan, seperti tinju, mengankat barang-barang yang berat, dan olahraga lainnya yang mengeluarkan perempuan dari hakikat tabiat keperempuanannya, bahkan kerap kali menyerupai laki-laki. Hal seperti inilah yang dilarang oleh Nabi Saw. dan mendapat kecaman keras yang tergambar dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra., “Nabi melaknat laki-laki yang bergaya perempuan dan perempuan yang berlagak laki-laki, kemudian nabi bersabda, ‘keluarkan mereka dari rumah kalian’”. 

Ketiga, yaitu olahraga yang pada asalnya boleh, tapi menjadi haram karena faktor eksternal, seperti terbukanya aurat, ikhtilâth (bercampurnya laki-laki dan perempuan bukan mahramnya), dan lain hal yang menjadikan hukum mubah olahraga menjadi haram. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa Nabi, suatu ketika Nabi berlomba dengan sayyidah ‘Aisyah dan ada beberapa sahabat Nabi, kemudian Nabi menyuruh para sahabat untuk berangkat terlebih dahulu. Dan bersabda, “Kemarilah ‘Aisyah… sampai aku berlomba denganmu”. Ketika sahabat tidak ada dan Nabi yakin tidak ada seorang pun yang melihat sayyidah ‘Aisyah, Nabi mengajaknya berlomba lari. Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang mubah bisa menjadi haram karena adanya sebab yang menyebabkannya menjadi haram, dan keharaman ini akan menjadi mubah kembali ketika illat tersebut hilang, sebagaimana yang tergambarkan dalam Hadits di atas.

Demikian juga, Fuqaha membuat beberapa batasan bagi perempuan di dalam pelaksanaan olahraga. Pertama, perempuan harus betul-betul menjaga auratnya dan tidak menampakkannya kepada laki-laki (yang bukan muhrimnya), karena Allah menghendakinya menutup aurat. Dan muslimah yang baik dan taat akan mendahulukan perintah Tuhan-nya ketimbang keinginan hawa nafsunya serta tidak condong kepada masyarakatnya yang menyimpang dari syariat Islam dan ajakan orang yang menginginkankannya jatuh dalam lembah kesesatan, Allah mengabadikan perintah-Nya ini dalam firmannya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya’”.

Kedua, tidak melakukan olahraga di tempat terbuka atau di depan laki-laki bukan muhrimnya, seperti tempat olahraga tingkat internasional yang banyak di hadiri penonton, baik laki-laki maupun perempuan, karena olah raga dalam bentuk seperti ini sudah keluar dari koridor dlawâbit syariat Islam.

Maka, sebaik-baiknya tempat bagi perempuan untuk berolahraga adalah rumahnya. Apalagi di masa modern ini banyak peralatan olahraga mutakhir yang mempermudah perempuan melakukan olahraga di dalam rumah, menjadikannya lebih aman dari timbulnya fitnah yang tidak di inginkan.

Kesimpulannya, perempuan boleh melakukan olahraga apapun selagi tidak bertentangan dengan syariat, dan tentu, kegiatan olahraga ini tidak menjadikannya lalai akan kewajiban-kewajibannya terhadap suami dan anak anaknya, serta tidak menghalanginya untuk melaksanakan rukun-rukun Islam pada waktu yang telah di tentukan, karena islam menginginkan ridla Allah-lah yang menjadi tujuan utamanya dan semua umat Islam sebagai hamba-Nya. Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: M. Badri al-Khoiri

Selasa, 27 Agustus 2013

Refleksi Batik Dalam Perkembangan Sejarah Indonesia

Ada yang berubah dengan trend berbusana masyarakat Indonesia belakangan ini, yakni penggunaan batik yang tengah “booming” di tanah air. Hampir di setiap tempat umum Anda akan dengan mudah menjumpai orang-orang dari segala  usia mengenakan batik yang telah diinovasikan menjadi macam-macam busana modern, mulai dari yang berbentuk blouse, dress, skirt, hingga tas. Hal ini tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan satu dasawarsa yang lalu. Coba tengok ke masa itu dimana batik hanya identik dengan kondangan dan menjadi busana “khas” orang tua. Batik terkesan sebagai sesuatu yang old fashioned bagi para generasi muda. Namun, kita bisa tersenyum saat ini sebab batik telah kembali menjadi bagian hidup dari masyarakat Indonesia .  Batik kembali pupuler di tengah gempuran arus trend mode asing. Hanya yang disayangkan, kepopuleran batik tak diiringi dengan pemahaman masyarakat akan nilai-nilai yang terkandung dalam batik. Lantas seberapa jauh kita mengenal batik?

Kata “batik” berasal dari bahasa Jawa ambatik yang merupakan derivasi dari kata amba yang berarti kain dan tritik yang berarti titik (noktah) kecil. Maka, sangat mengherankan jika istilah “batik” yang notabene sangat Indonesia, didaku telah dipatenkan oleh negara lain. Definisi kata batik yang sebenarnya ialah mengacu pada tehnik pembuatan ragam hias dengan cara menuangkan malam di atas kain. Sedang Definisi batik menurut Longman dalam Longman Dictionary of English Language and Culture, yaitu (cloth decorated) by an Indonesian method of printing coloured patterns on cloth by putting wax on the part is not to be coloured. Akan tetapi, kata batik oleh kebanyakan masyarakat  telah terlanjur dikenal sebagai kain yang diolah menggunakan tehnik itu sendiri, termasuk penggunaan motif-motifnya yang khas. Pemahaman ini bisa saja muncul dari kian membanjirnya produksi batik yang dilakukan secara masal dengan tehnik printing yang “meminjam” motif batik. Oleh beberapa pengamat batik, jenis batik semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai batik yang “asli” karena menurnkan kualitas dan menghilangkan nilai-nilai dari pembuatan batik itu sendiri.

Pada umumnya, peninggalan arkeologis tekstil kuno di Indonesia sulit diperoleh. Hal ini disebabkan kondisi iklim alam Indonesia yang kurang mendukung pengawetan kain. Menurut Hasanudin (2001), sekali pun tidak mungkin ditemukan selembar kain sebagai batik sebagai bukti arkeologi tentang keberadaan batik pada masa silam, tetapi bukti sejarah tentang tehnik rintang warna, ragam hias dekoratif, simbolik, keseimbangan dinamis yang menjiwai bentuk batik, sudah dikenal pada masa pra-sejarah.

Pada awalnya batik digunakan sebagai hiasan pada daun lontar yang berisi naskah atau tulisan agar tampak lebih menarik. Seiring perkembangan interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa asing, maka mulai dikenal media batik pada kain. Dalam beberapa literature, sejarah pembatikan di Indonesia sering dikaitkan dengan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan penemuan arkeologi berupa arca di dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (memerintah 1294-1309), yang memakai kain beragam hias kawung. Oleh sebab itu, kesenian batik diyakini telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit secara turun temurun. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia pertama atau sekitar tahun 1920.

Sedangkan pada masa kerajaan Mataram I yang dipimpin oleh Panembahan Senopati  Pembatikan, pembuatan batik masih terbatas dalam lingkungan keluarga keraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Kain batik (jarit) biasanya dikenakan saat upacara resmi kerajaan keluarga keratin, baik pria maupun wanita. Seiring perjalanan waktu,  pembatikan mulai keluar dari tembok keraton.

Selanjutnya,  kesenian batik mulai meluas di wilayah Indonesia pada akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Adapun keterkaitan batik dengan penyebaran ajaran Islam, yakni banyaknya daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa yang merupakan daerah-daerah santri, terutama di wilayah pesisir. Hal ini bermula dari upaya para pedagang dan wirausaha muslim yang menawarkan batik ke seluruh penjuru Nusantara. Para pedagang muslim, yang masuk dalam lapisan menengah pribumi, adalah penyokong syiar agama dan membantu kelangsungan hidup pesantren sebagai tempat pandidikan bagi pembawa syiar agama (Hasanudin, 2001). Perdagangan batik juga disebutkan menjadi salah satu alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Secara tradisioanl, batik dibagi menjadi dua, yakni batik keraton atau batik klasik dan batik pesisir . Batik keraton adalah istilah dari batik yang berasal dari keraton, seperti Solo dan Yogyakarta . Sedangkan batik pesisir adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut batik yang dibuat di wilayah pesisir utara pulau Jawa..
Meski pun demikian, perbedaan yang menonjol dari kedua batik tersebut didasarkan pada ciri khas motif atau ragamnya. Misalnya, batik Garut dimasukkan ke dalam jenis batik pesisir meski pun Garut tidak terletak di wilayah pesisir. Karena menurut motifnya, batik pesisir lebih bersifat kontemporer, dalam artian jenis batik ini lebih bervariasi, mulai dari ragam hias dan warnanya dengan susunan yang terkadang asimetris. Batik pesisir memiliki warna- warni yang lebih cerah, seperti biru, merah, dan kuning. Ragam hiasnya pun ada yang di ambil dari alam di sekitar wilayah masing-masing, terutama mengambil bentuk-bentuk dari dunia flora dan fauna. Batik ini juga banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan asing seperti Eropa, Arab , India , dan Cina.

Hal ini sangat berbeda dengan batik keraton yang mana motifnya harus mengikuti pakem tertentu serta berpola simetris. Ragam hias batik keraton ini meliputi banji, ceplok, ganggeng, kawung, parang, meniru anyaman, dan semen. Warnanya pun lebih didominasi oleh warna biru, soga, dan warna dasar. Karena pemakaian batik di keraton banyak berhubungan dengan pengunaannya saat upacara dan masyarakat, maka ragam hias batik ini banyak diatur oleh raja. Bahkan, untuk motif tertentu, motif parang rusak barong misalnya, hanya diizinkan untuk dipakai oleh raja-raja dan kerabatnya.

Tak dapat dipungkiri, batik telah dianggap sebagai salahsatu citra budaya Indonesia yang telah terkenal di dunia internasional. Bahkan, batik Indonesia secara resmi telah ditetapkan oleh United Nations Education Social and Cultural Organization (UNESCO)  sebagai bentuk budaya bukan benda warisan manusia atau UNESCO representative list of intengible cultural heritage of humanity pada 2 Oktober 2009 lalu. Hingga kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik. Hal ini menjawab keresahan masyarakat atas isu klaim negara lain atas batik yang heboh diperbincangkan tahun lalu. Indonesia patut berbangga atas pengakuan batik manjadi warisan budaya dunia tersebut. Sebab, walau pun batik juga ditemukan di negara lain dan bahkan ada yang menyatakan bahwa tehnik ini bukan asli berasal dari luar Indonesia, namun batik Indonesialah yang paling pesat perkembangannya serta memiliki kekhasan pada kerajinan dan kerumitannya yang sangat berbeda dengan negara lain. Di samping batik Indonesia kaya akan nilai estetika dan filosofis yang tinggi.

Di balik kesenian batik yang mencerahkan dan memberikan keragaman hias yang menyilaukan, batik juga memiliki unsur-unsur kreativitas yang cukup mendalam karena proses pembuatan batik membutuhkan kecermatan dan kesabaran. Itulah sebabnya, bagi orang yang senang membatik, unsur-unsur ketelitian dan kecerdasan dalam meracik bahan dan hiasan menjadi nilai yang terpenting (Mohammad Takdir, 2009). Secara tersirat, batik merefleksikan pandangan hidup masyarakat dimana batik tersebut dihasilkan. Misalnya, penggunaan batik tertentu yang hanya diperuntukkan bagi lingkungan kerajaan menunjukkan feodalisme dalam budaya Jawa, khususnya di lingkungan keraton.

Contoh lainnya adalah sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Komarudin Kudiya (2009) mengenai nilai filosofis yang terkandung pada motif batik pesisir yang berasal dari Cirebon, megamendung. Bentuk Megamendung yang berupa garis lengkung yang beraturan secara teratur dari bentuk garis lengkung yang paling dalam (mengecil), kemudian melebar keluar (membesar) menunjukkan gerak yang teratur dan harmonis. Dengan kata lain, garis lengkung yang beraturan ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun), kemudian berkembang keluar untuk mencari jati diri (belajar/menjalani kehidupan sosial agama). Dan pada akhirnya membawa dirinya memasuki dunia baru menuju kembali kedalam penyatuan diri setelah melalui pasang surut (naik dan turun) dan akhirnya kembali ke asalnya (sunnatullah).

Secara umum, sebuah pelajaran berharga dapat kita hayati dari proses pembuatan batik yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar dengan melewati beberapa tahapan yang rumit dan diperlukan kesabaran serta ketelitian ekstra. Misalnya, pembuatan batik Pekalongan yang dimulai dari pemolaan (pembuatan motif batik), nglowong (pelekatan malam sesuai motif pada kain dengan dengan canting), ngiseni dan nanahi, nyolet (pemberian warna), mopok, nyelup (pencelupan kain), nglorod (proses penghilangan malam), mbironi (membatik ulang), dan seterusnya.  Sehingga bisa dipahami, jika harga batik tidaklah murah. Perlu diketahui juga, beragamnya corak batik di Nusantara merupakan representasi dari culture diversity bangsa Indonesia yang merupakan aset dan warisan yang tak ternilai harganya.

Bagaimanapun juga, mengutip perkataan Mahatma Gandhi ”No culture can live if it attempts to be exclusive”. Maka, warisan budaya (heritage) batik ini seyogyanya bisa beradaptasi dengan perubahan zaman agar nantinya batik tak tertelan dimakan waktu. Sebab, fenomena yang terjadi belakangan ini adalah pergeseran makna batik yang hanya dilandasi pada kekaguman akan keindahan semata tanpa memahami lebih lanjut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Semoga semangat pelestarian batik yang gencar dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak berlangsung temporer. Namun, akan bertahan bersama perjalanan bangsa ini menyongsong masa depan. (14042010).

Penulis: Ida Fauziyah (Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang)

Rancangan Program & Peraturan "Smart Solution for Study & Pinjaman Serbaguna (PSG)"


Assalamu'alaikum Wr. Wb.  

Demi memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan di Perda Nomor 1 Tahun 2013 Pasal 9, maka kami merancang peraturan ini. Mohon saran dan kritik dari teman-teman semua, agar peraturan ini lebih baik.

SMART SOLUTION FOR STUDY
Ini merupakan program peminjaman uang untuk menunjang kelancaran kuliah, seperti membayar rusum, membeli muqoror, membayar sewa rumah, dll. Jumlah pinjaman maksimal EGP. 300.
A.     Syarat Umum:
1.      Warga Negara Indonesia (WNI).
2.      Terdaftar sebagai anggota DPD PPMI Tanta.
3.      Bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan piutang yang dibuat oleh DPD.
B.     Syarat Administrasi:
1.      Mendapat persetujuan dari Ketua DPD PPMI Tanta.
2.      Mengisi Formulir yang disediakan oleh DPD.
3.      Periode cicilan maksimal 2 bulan.
a.       Cicilan bulan pertama: 40% dari jumlah pinjaman.
b.      Cicilan bulan kedua: 60% dari jumlah pinjaman.

PINJAMAN SERBAGUNA (PSG)
Adalah program peminjaman uang untuk kebutuhan serbaguna. Jumlah pinjaman maksimal EGP. 1500.
A.     Syarat Umum:
1.      Warga Negara Indonesia (WNI).
2.      Terdaftar sebagai anggota DPD PPMI Tanta.
3.      Bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan piutang yang dibuat oleh DPD.
B.     Syarat Administrasi:
1.      Mengisi Formulir yang disediakan oleh DPD.
2.      Fotokopi Paspor (Halaman identitas & visa).
3.      Menyertakan jaminan barang senilai uang yang dipinjam.
4.      Periode cicilan maksimal 3 bulan.
a.       Cicilan bulan pertama: 20% dari jumlah pinjaman.
b.      Cicilan bulan kedua: 40% dari jumlah pinjaman.
c.       Cicilan bulan ketiga: 40% dari jumlah pinjaman.

Atas perhatian, saran dan kritik teman-teman kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga DPD PPMI Tanta 2013-2014 bisa mengayomi masyarakat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tanta, 27 Agustus 2013

Hormat Kami,
BPD PPMI Tanta

Download Perda Nomor 1 Tahun 2013. Klik di sini

Kemendik Mesir Perketat Pengawasan terhadap Guru

Kementrian Pendidikan dan Pengajaran Mesir, melalui Departemen Pendidikan di tiap daerah, memperketat pengawasan terhadap guru di sekolah-sekolah Mesir. Hal ini disebabkan oleh banyaknya guru yang ikut turun berdemonstrasi dan meninggalkan kewajiban mengajarnya. Di beberapa sekolah Mesir, sejumlah guru dilaporkan hanya mengisi daftar hadir guru saja, lantas keluar untuk ikut demonstrasi tanpa masuk kelas dan menunaikan kewajibannya sebagai guru.

Untuk mengatasi hal tersebut, Kementrian Pendidikan dan Pengajaran Mesir akan memperketat pengawasan terhadap waktu masuk dan waktu keluar guru sesuai dengan aturan yang ada. Baik guru ataupun murid, nantinya akan dilarang untuk membicarakan masalah politik dalam negeri Mesir selama jam pelajaran. Absensi guru nantinya akan dilaporkan secara berkala kepada Departemen Pendidikan dan Pengajaran di tiap-tiap daerah.

Fenomena guru meninggalkan kelas karena ikut demonstrasi ini sempat memicu perdebatan panas di media jejaring sosial. Banyak pihak menuntut agar para guru yang tidak melalaikan kewajibannya tersebut diberi sanksi.

Sumber: AtdikCairo.org

Minggu, 25 Agustus 2013

Relevansi Metode Klasik Arab Pegon Pada Era Modern

Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca atau bunyi-bunyi. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak biasa mengucapkan. Kata lain dari “pegon” yaitu gundul yang berarti kosong atau polos. Sedangkan huruf Arab pegon digunakan untuk menuliskan terjemahan maupun makna yang tersurat di dalam kitab kuning dengan menggunakan bahasa tertentu supaya bisa dipaham oleh khalayak awam. Arab pegon identik dengan pesantren atau lebih tepatnya merupakan suatu metode yang digunakan di pesantren pada umumnya. Arab pegon sendiri adalah suatu ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, ungkapan tersebut bisa berbeda-beda tergantung daerah yang menggunakannya, di Sumatra kita bisa menyebut Arab pegon dengan sebutan aksara Arab-Melayu.

Arab pegon ini merupakan suatu tulisan Arab, tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal karna ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan bahasa Jawa saja, tapi juga dipakai di daerah Jawa Barat dengan menggunakan bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan bahasa Melayu. Keberadaan Arab pegon sangat erat kaitannya dengan syiar Islam di negeri kita indonesia.

Konon, para ulama menggunakan metode ini untuk mempermudah penyebaran syariat Islam. Selain itu, Arab pegon juga mempunyai kandungan sastra Jawa yang terdapat di dalam teks Arab pegon. Bahasa yang digunakan mengandung unsur sastra Jawa (ketika bahasa jawa). Mengutip dari salah satu sumber, bahwa Arab pegon juga digunakan dalam bidang sastra Jawa. Hal itu dapat teridentifikasi melalui bahasa Jawa yang digunakan dalam memaknai gandul, yaitu bahasa Jawa klasik.

Selain dijadikan sebagai ungkapan sastra Arab, pegon juga menjadi sebuah metode pendidikan yang unik, bukti bahwa Arab pegon merupakan sebuah metode yang dipakai oleh para ulama, ialah ratusan karya para ulama yang di jadikan buku dan buku-buku tersebut menerangkan tentang masalah ke agamaan seperti halnya yang saya temukan di toko kitab kuno di Cairo yang mencetak kitab-kitab klasik (maktabah Khalabi). Di situ terdapat karangan ulama luar Jawa yang menggunakan bahasa Arab pegon sebagai bahasa inti di dalam karangannya.

Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnya, sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam segi pendidikan bahasa Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya, biasa disebut dengan Ngesahi atau Ngalogat dalam menerjemahkan dan memberi makna pada “kitab kuning”.

Masih Relevankah Metode Seperti Itu?
Melihat fakta yang ada di dalam lingkup pesantren yang notabene adalah pengguna metode klasik itu, saya kira ada sisi validitas dan invaliditas. Segi valid yang saya maksud di sini adalah, peran besar metode Arab pegon dalam membantu pelajar untuk lebih memahami makna yang terdapat di dalam teks arab, entah itu dalam bentuk “kitab kuning” atau kitab-kitab yang lainnya. Proses absahnya metode ini lebih cenderung dalam meniliti kata demi kata, sehingga proses men-tarkib (istilah pelajar) dalam membaca kitab kuning bisa dibilang teliti.

Selain validitas di atas, kita juga akan menemukan invaliditas di dalam metode ini yang mana seiring dengan perkembangan zaman, buku kontemporer pun saling bermunculan dan bahasa yang digunakan pun sangat bertolak belakang dengan bahasa kitab-kitab klasik. Kitab-kitab kontemporer lebih mempunyai istilah-istilah kekinian yang mana istilah tersebut masih belum bisa diartikan atau dialihbahasakan dengan menggunakan Arab pegon.

Banyak contoh-contoh dalam istilah kontemporer yang tidak bisa dialihbahasakan dengan menggunakan bahasa daerah yang cenderung lebih bisa dimengerti oleh kaum awam. Dari segi ini, mungkin kita bisa memandang bahwa metode menggunakan Arab pegon sedikit lebih tidan relevan dengan masa sekarang. Di pandang dari metode ini tidak bisa mencakup dalam semua aspek bahasa, banyak bahasa-bahasa kekinian yang tidak bisa dialihbahasakan.

Dan juga perlu dipertimbangkan bahwa metoode Arab pegon di pandang dari masa sekarang banyak yang mengatakan terlalu bertele-tele dalam segi pengungkapannya. Sebagian mengatakan bahwa bahasa yang seyogyanya simpel, akan tetapi ketika diartikan dalam menggunakan Arab pegon malah menjadi panjang. Itu semua disebabkan faktor peralihan zaman dan berpengaruh terhadap metodologi pembelajaran dan penyampaian.

Efek Dari Penerapan Metode Klasik Ini
Banyak saya temui di daerah-daerah Jawa, bahwa penggunaan metode klasik ini kurang begitu efektif, ini berdasarkan fakta yang terdapat di dalam pesantren pada umumnya. Bahwa santri atau pelajar pada umumnya kurang bisa menangkap secara baik dengan metode seperti ini. Apalagi ketika santri tersebut berasal dari luar Jawa atau luar daerah yang cenderung pemahaman bahasanya berbeda. Dari sini akan muncul proses lambatnya kemampuan dan kurang bisa menghemat waktu. Karna pelajar yang mestinya dalam masa 1 tahun sudah bisa memahami, dalam batasan tertentu, terhambat karena kurang memahami bahasa Arab pegon. Dan juga di dalam metode ini, penjelasan tentang tata bahasa dan rumus-rumus yang terdapat di Arab pegon masih cenderung simpel. Jadi, kurang begitu luas sehingga siswa yang berasal dari luar daerah akan terhambat dikarnakan faktor bahasa yang kurang bisa dimengerti.

Faktor lainnya, kurang evisien dalam pemanfaatan waktu. Realita yang ada, proses pengajaran “kitab-kitab kuning” ala pesantren salaf cenderung memaknai satu-persatu teks Arab dengan menggunakan Arab pegon, dilanjut dengan menerangkan kandungan makna teks Arab. Coba ketika lebih dievisienkan, maka kita akan lebih menghemat waktu dengan metode menerangkan terhadap para siswa, semisal ada waktu sendri terhadap pembelajaran menggunakan metode Arab pegon.

Ketika proses seperti itu masih berjalan sampai sekarang, apakah hasil dari metode seperti itu masih sebesar jaman dahulu? Apakah tujuan dilestarikannya metode klasik seperti itu? Apakah cukup dengan menghargai metode ulama-ulama terdahulu? Itu mungkin yang harus kita teliti lebih dalam, sehingga kita dapat menemukan kelemahan dari metode itu dan memperbaiki faktor-faktor yang perlu diperbaiki, seperti kata para ulama: “Al-Muhâfazhah ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Dengan begitu kita bisa menjadikan metode yang tadinya klasik bisa terlihat modern dan manfaatnya lebih bisa terasa.

Akan tetapi, kita juga tidak menafikan peran besar metode ini dalam pengembangan agama Islam. Mungkin kalkulasi yang ada hampir 80% efek metode ini sangat terlihat dikarnakan pada era dahulu kultur Arab sudah masuk ke kalangan indonesia. Jadi, mungkin metode yang digunakan para ulama jaman dahulu melihat dari aspek tersebut, sehingga dipilihlah metode seperti itu yang sampai sekarang masih digunakan oleh pesantren.

Saya kira seperti itu unek-unek yang saya ungkapkan dalam sebuah tulisan ini. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Jika kurang berkenan mohon maaf yang sebesar besarnya.

Selain dijadikan sebagai ungkapan sastra Arab, pegon juga menjadi sebuah metode pendidikan yang unik, bukti bahwa Arab pegon merupakan sebuah metode yang dipakai oleh para ulama, ialah ratusan karya para ulama yang di jadikan buku dan buku-buku tersebut menerangkan tentang masalah ke agamaan seperti halnya yang saya temukan di toko kitab kuno di Cairo yang mencetak kitab-kitab klasik (maktabah Khalabi)

Penulis: M. Abdullah Rif'an (Alumni Al-Azhar Tanta 2010-2011)

Dr. Abbas Shouman, Dekan Baru Fakultas Dirasat Islamiyah

Dr. Abbas Shouman, dosen Syariah Universitas Al-Azhar, akhirnya terpilih menjadi Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (Putra) yang baru, menggantikan Dr. Mokhtar Gom’ah yang kini menjabat Menteri Wakaf dan Urusan Keislaman. Abbas Shouman, yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Lembaga Ulama Senior (Hai’at Kibâr Al-‘Ulama`) Al-Azhar, mengungguli tiga kandidat lainnya dengan memperoleh 29 suara. Ketiga kandidat lainnya adalah Dr. Gad Ar-Rabb Abdul Majid, dosen Hadits, memperoleh 27 suara; Dr. Mohammad Hasan Othman, dosen linguistik, memperoleh 16 suara; dan Dr. Mohammad Abdul Ghaffar, dosen akidah, hanya memperoleh 1 suara.

Setelah terpilih, Shouman mengatakan bahwa yang akan menjadi perhatian utamanya adala soal bangunan fakultas yang butuh renovasi secepatnya dan soal kurangnya jumlah staf administrasi fakultas. Seperti diketahui, Shouman memiliki hubungan baik dan kedekatan personal dengan Dr. Mokhtar Jum’ah, dekan pendahulunya.

Pemilihan dekan Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar (Putra) tersebut dihadiri oleh Prof. Dr. Ali Jum’ah Mohammad, mantan Mufti Mesir dan Dr. Mohammad Mokhtar Mahdi, Direktur Al-Jam’iyyah Asy-Syar’iyyah. (Sawt Al-Azhar, 16/8)

Sumber: AtdikCairo.org

Mengawali Kepemimpinan Dengan Gerakan Seratus Kunci


Pada Jum’at, 23 Agustus 2013, Ketua DPD PPMI Tanta terpilih, Nur Furqon Nashrullah mengawali langkah kepemimpinannya dengan ‘Gerakan Seratus Kunci’ yang merupakan salah satu program unggulannya.

Ia ditemani beberapa anggota lainnya saling bahu membahu mengganti kunci dan melepas selot lama pintu RUANG (Rumah Anggota) istilah baru untuk sekretariat DPD PPMI Tanta. “Kunci memang hal yang remeh, namun ketika setiap anggota memiliki kunci pintu RUANG DPD PPMI Tanta, rasa kepemilikan dan kekeluargaan akan semakin terjalin kuat. Kami memulai dari hal yang kecil menuju impian besar.” Jelas Furqon.

Hingga saat ini, sekitar dua puluh orang telah menerima kunci gerbang dan kunci pintu RUANG. Untuk anggota yang berdomisili di Tanta dan belum menerima kunci, dijadwalkan pada hari Ahad, 25 Agustus 2013, telah menerimanya. Bagi anggota yang berdomisili di luar Tanta akan diserahkan pada tanggal 28 Agustus nanti.

“Semoga dengan langkah awal ini, meski hal yang kecil, dapat mewujudkan impian semua anggota, yaitu keakraban, keeratan, dan juga DPD yang selalu ramai dikunjungi, sehingga semua anggota merasakan RUANG seperti rumah sendiri,” imbuhnya.

Kini terlihat pintu RUANG dengan penampilan barunya, menjadi langkah awal kebersamaan Masita untuk membangun kesuksesan bersama, mengingat selama ini RUANG merupakan pusat kegiatan Masita, terlebih dalam menunjang kesuksesan studi selama berada di Mesir. (Syarif Abdur Rochim)