Jumat, 06 September 2013

Angkulng

Sentimen kebangsaan selalu membutuhkan serentetan ikon budaya konkret. Banyak orang Indonesia yang khawatir bahkan bersikap reaktif terhadap tangkasnya negara tetangga kita, Malaysia, yang mengakui Angklung, Batik, dan Reog sebagai kesenian nasional mereka. Kekhawatiran ini mengarah pada harapan bahwa negara harus konkret melindungi kesenian khas bangsa Indonesia untuk kepentingan identitas nasional. Intinya, jika ingin mengangkat properti budaya yang khas menjadi identitas yang representative bagi bangsa, maka syarat utamanya adalah properti tersebut harus terlibat dalam kesejarahan bangsa untuk memenuhi visi otoritas ke masa lalu, sekaligus juga populer dalam imajinasi kolektif pada waktu sekarang untuk visi masa depan. Bangsa-bangsa modern yang tangguh setia mempertahankan prinsip ini untuk lestari. Angklung adalah elemen budaya yang terlibat dalam dua gaya tarik tradisional-modern sehingga menarik diisukan sebagai ikon bangsa yang potensial dan konkret.

Angklung merupakan alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Angklung yang tertua di dalam sejarah yang masih ada, disebut Angklung Gubrag, dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia. Usianya telah mencapai 400 tahun. Sekarang ini, beberapa Angklung tersebut di simpan di Museum Sri Baduga, Bandung, Indonesia.

Dengan berjalannya waktu, Angklung bukan hanya dikenal di seluruh nusantara, tetapi juga merambah ke berbagai Negara Asia. Dalam bentuknya yang tradisional, Angklung dikenal secara terbatas di Jawa sebagai alat musik ritual perladangan padi yang dimainkan berkelompok. Para pemain menggetarkan Angklung lebih pada tujuan menciptakan ritmik yang membangun atmosfir upacara penghormatan pada Dewi Sri, bukan berkesenian, apalagi membawakan komposisi. Sebagai alat musik tradisional masa kolonial abad ke-20 pun, Angklung bukan merupakan alat musik populer, bahkan hampir punah dan hanya dimainkan oleh pengemis. Samapai pada tahun 1938, seorang guru muda yang sangat musikal di Kuningan, Daeng Sutigna, melakukan inovasi dengan membuat satu set Angklung yang membawakan tangga nada diatonik kromatis.

Dalam perkembangannya, Angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan, dan Sumatera. Pada 1908, tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan Angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Bahkan sejak 1966, Udjo Ngalagena, tokoh Angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, slendro, dan madenda mulai mengajarkan bagaimana bermain Angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Macam-Macam Angklung:
Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering mnyebut mereka Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan semata-mata untuk menghibur orang lain. Angklung digunakan ketika mereka menanam padi di ladang, angklung ditabuh ketika mereka menanam padi. Di Kanekes yang berhak membuat Angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Dan yang membuat Angklung hanya orang-orang yang memiliki keahlian.

Angklung Dogdog Lojor
Terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten kidul yang tersebar di sekitar gunung Halimun. Kesenian ini digunakan ketika mereka menanam padi, tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama, instrumen yang digunakan Dogdog Lojor adalah dua buah Dogdog Lojor dan empat buah Angklung besar .

Angklung Gubrag
Angklung Gubrag berada di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan), ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya, Angklung Gubrag mulai ada ketika suatu masa, kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng
Merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di desa Sanding, kecamatan Malangbong, Garut. Dulu, berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam, tetapi diduga Badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah, Badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini, abad ke-16 atau 17. Pada masa itu, penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak, mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah kesenian Badeng.

Angklung Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Anjarsari, Bandung). Pada mulanya, Buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi, pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal yang berbau kepercayaan lama.

Dari beberapa jenis musik bambu Jawa Barat di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan Angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dogdog Lojor (Sukabumi), Angklung Badong (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari perkembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908-1984), diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi), sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Penulis: Khoirunnisa, Lc. (Mahasiswi Indonesia di Alexandria)