Selasa, 27 Agustus 2013

Refleksi Batik Dalam Perkembangan Sejarah Indonesia

Ada yang berubah dengan trend berbusana masyarakat Indonesia belakangan ini, yakni penggunaan batik yang tengah “booming” di tanah air. Hampir di setiap tempat umum Anda akan dengan mudah menjumpai orang-orang dari segala  usia mengenakan batik yang telah diinovasikan menjadi macam-macam busana modern, mulai dari yang berbentuk blouse, dress, skirt, hingga tas. Hal ini tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan satu dasawarsa yang lalu. Coba tengok ke masa itu dimana batik hanya identik dengan kondangan dan menjadi busana “khas” orang tua. Batik terkesan sebagai sesuatu yang old fashioned bagi para generasi muda. Namun, kita bisa tersenyum saat ini sebab batik telah kembali menjadi bagian hidup dari masyarakat Indonesia .  Batik kembali pupuler di tengah gempuran arus trend mode asing. Hanya yang disayangkan, kepopuleran batik tak diiringi dengan pemahaman masyarakat akan nilai-nilai yang terkandung dalam batik. Lantas seberapa jauh kita mengenal batik?

Kata “batik” berasal dari bahasa Jawa ambatik yang merupakan derivasi dari kata amba yang berarti kain dan tritik yang berarti titik (noktah) kecil. Maka, sangat mengherankan jika istilah “batik” yang notabene sangat Indonesia, didaku telah dipatenkan oleh negara lain. Definisi kata batik yang sebenarnya ialah mengacu pada tehnik pembuatan ragam hias dengan cara menuangkan malam di atas kain. Sedang Definisi batik menurut Longman dalam Longman Dictionary of English Language and Culture, yaitu (cloth decorated) by an Indonesian method of printing coloured patterns on cloth by putting wax on the part is not to be coloured. Akan tetapi, kata batik oleh kebanyakan masyarakat  telah terlanjur dikenal sebagai kain yang diolah menggunakan tehnik itu sendiri, termasuk penggunaan motif-motifnya yang khas. Pemahaman ini bisa saja muncul dari kian membanjirnya produksi batik yang dilakukan secara masal dengan tehnik printing yang “meminjam” motif batik. Oleh beberapa pengamat batik, jenis batik semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai batik yang “asli” karena menurnkan kualitas dan menghilangkan nilai-nilai dari pembuatan batik itu sendiri.

Pada umumnya, peninggalan arkeologis tekstil kuno di Indonesia sulit diperoleh. Hal ini disebabkan kondisi iklim alam Indonesia yang kurang mendukung pengawetan kain. Menurut Hasanudin (2001), sekali pun tidak mungkin ditemukan selembar kain sebagai batik sebagai bukti arkeologi tentang keberadaan batik pada masa silam, tetapi bukti sejarah tentang tehnik rintang warna, ragam hias dekoratif, simbolik, keseimbangan dinamis yang menjiwai bentuk batik, sudah dikenal pada masa pra-sejarah.

Pada awalnya batik digunakan sebagai hiasan pada daun lontar yang berisi naskah atau tulisan agar tampak lebih menarik. Seiring perkembangan interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa asing, maka mulai dikenal media batik pada kain. Dalam beberapa literature, sejarah pembatikan di Indonesia sering dikaitkan dengan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Hal ini dibuktikan dengan penemuan arkeologi berupa arca di dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (memerintah 1294-1309), yang memakai kain beragam hias kawung. Oleh sebab itu, kesenian batik diyakini telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit secara turun temurun. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia pertama atau sekitar tahun 1920.

Sedangkan pada masa kerajaan Mataram I yang dipimpin oleh Panembahan Senopati  Pembatikan, pembuatan batik masih terbatas dalam lingkungan keluarga keraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Kain batik (jarit) biasanya dikenakan saat upacara resmi kerajaan keluarga keratin, baik pria maupun wanita. Seiring perjalanan waktu,  pembatikan mulai keluar dari tembok keraton.

Selanjutnya,  kesenian batik mulai meluas di wilayah Indonesia pada akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Adapun keterkaitan batik dengan penyebaran ajaran Islam, yakni banyaknya daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa yang merupakan daerah-daerah santri, terutama di wilayah pesisir. Hal ini bermula dari upaya para pedagang dan wirausaha muslim yang menawarkan batik ke seluruh penjuru Nusantara. Para pedagang muslim, yang masuk dalam lapisan menengah pribumi, adalah penyokong syiar agama dan membantu kelangsungan hidup pesantren sebagai tempat pandidikan bagi pembawa syiar agama (Hasanudin, 2001). Perdagangan batik juga disebutkan menjadi salah satu alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Secara tradisioanl, batik dibagi menjadi dua, yakni batik keraton atau batik klasik dan batik pesisir . Batik keraton adalah istilah dari batik yang berasal dari keraton, seperti Solo dan Yogyakarta . Sedangkan batik pesisir adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut batik yang dibuat di wilayah pesisir utara pulau Jawa..
Meski pun demikian, perbedaan yang menonjol dari kedua batik tersebut didasarkan pada ciri khas motif atau ragamnya. Misalnya, batik Garut dimasukkan ke dalam jenis batik pesisir meski pun Garut tidak terletak di wilayah pesisir. Karena menurut motifnya, batik pesisir lebih bersifat kontemporer, dalam artian jenis batik ini lebih bervariasi, mulai dari ragam hias dan warnanya dengan susunan yang terkadang asimetris. Batik pesisir memiliki warna- warni yang lebih cerah, seperti biru, merah, dan kuning. Ragam hiasnya pun ada yang di ambil dari alam di sekitar wilayah masing-masing, terutama mengambil bentuk-bentuk dari dunia flora dan fauna. Batik ini juga banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan asing seperti Eropa, Arab , India , dan Cina.

Hal ini sangat berbeda dengan batik keraton yang mana motifnya harus mengikuti pakem tertentu serta berpola simetris. Ragam hias batik keraton ini meliputi banji, ceplok, ganggeng, kawung, parang, meniru anyaman, dan semen. Warnanya pun lebih didominasi oleh warna biru, soga, dan warna dasar. Karena pemakaian batik di keraton banyak berhubungan dengan pengunaannya saat upacara dan masyarakat, maka ragam hias batik ini banyak diatur oleh raja. Bahkan, untuk motif tertentu, motif parang rusak barong misalnya, hanya diizinkan untuk dipakai oleh raja-raja dan kerabatnya.

Tak dapat dipungkiri, batik telah dianggap sebagai salahsatu citra budaya Indonesia yang telah terkenal di dunia internasional. Bahkan, batik Indonesia secara resmi telah ditetapkan oleh United Nations Education Social and Cultural Organization (UNESCO)  sebagai bentuk budaya bukan benda warisan manusia atau UNESCO representative list of intengible cultural heritage of humanity pada 2 Oktober 2009 lalu. Hingga kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik. Hal ini menjawab keresahan masyarakat atas isu klaim negara lain atas batik yang heboh diperbincangkan tahun lalu. Indonesia patut berbangga atas pengakuan batik manjadi warisan budaya dunia tersebut. Sebab, walau pun batik juga ditemukan di negara lain dan bahkan ada yang menyatakan bahwa tehnik ini bukan asli berasal dari luar Indonesia, namun batik Indonesialah yang paling pesat perkembangannya serta memiliki kekhasan pada kerajinan dan kerumitannya yang sangat berbeda dengan negara lain. Di samping batik Indonesia kaya akan nilai estetika dan filosofis yang tinggi.

Di balik kesenian batik yang mencerahkan dan memberikan keragaman hias yang menyilaukan, batik juga memiliki unsur-unsur kreativitas yang cukup mendalam karena proses pembuatan batik membutuhkan kecermatan dan kesabaran. Itulah sebabnya, bagi orang yang senang membatik, unsur-unsur ketelitian dan kecerdasan dalam meracik bahan dan hiasan menjadi nilai yang terpenting (Mohammad Takdir, 2009). Secara tersirat, batik merefleksikan pandangan hidup masyarakat dimana batik tersebut dihasilkan. Misalnya, penggunaan batik tertentu yang hanya diperuntukkan bagi lingkungan kerajaan menunjukkan feodalisme dalam budaya Jawa, khususnya di lingkungan keraton.

Contoh lainnya adalah sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Komarudin Kudiya (2009) mengenai nilai filosofis yang terkandung pada motif batik pesisir yang berasal dari Cirebon, megamendung. Bentuk Megamendung yang berupa garis lengkung yang beraturan secara teratur dari bentuk garis lengkung yang paling dalam (mengecil), kemudian melebar keluar (membesar) menunjukkan gerak yang teratur dan harmonis. Dengan kata lain, garis lengkung yang beraturan ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun), kemudian berkembang keluar untuk mencari jati diri (belajar/menjalani kehidupan sosial agama). Dan pada akhirnya membawa dirinya memasuki dunia baru menuju kembali kedalam penyatuan diri setelah melalui pasang surut (naik dan turun) dan akhirnya kembali ke asalnya (sunnatullah).

Secara umum, sebuah pelajaran berharga dapat kita hayati dari proses pembuatan batik yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar dengan melewati beberapa tahapan yang rumit dan diperlukan kesabaran serta ketelitian ekstra. Misalnya, pembuatan batik Pekalongan yang dimulai dari pemolaan (pembuatan motif batik), nglowong (pelekatan malam sesuai motif pada kain dengan dengan canting), ngiseni dan nanahi, nyolet (pemberian warna), mopok, nyelup (pencelupan kain), nglorod (proses penghilangan malam), mbironi (membatik ulang), dan seterusnya.  Sehingga bisa dipahami, jika harga batik tidaklah murah. Perlu diketahui juga, beragamnya corak batik di Nusantara merupakan representasi dari culture diversity bangsa Indonesia yang merupakan aset dan warisan yang tak ternilai harganya.

Bagaimanapun juga, mengutip perkataan Mahatma Gandhi ”No culture can live if it attempts to be exclusive”. Maka, warisan budaya (heritage) batik ini seyogyanya bisa beradaptasi dengan perubahan zaman agar nantinya batik tak tertelan dimakan waktu. Sebab, fenomena yang terjadi belakangan ini adalah pergeseran makna batik yang hanya dilandasi pada kekaguman akan keindahan semata tanpa memahami lebih lanjut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Semoga semangat pelestarian batik yang gencar dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak berlangsung temporer. Namun, akan bertahan bersama perjalanan bangsa ini menyongsong masa depan. (14042010).

Penulis: Ida Fauziyah (Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang)