Minggu, 25 Agustus 2013

Relevansi Metode Klasik Arab Pegon Pada Era Modern

Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca atau bunyi-bunyi. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak biasa mengucapkan. Kata lain dari “pegon” yaitu gundul yang berarti kosong atau polos. Sedangkan huruf Arab pegon digunakan untuk menuliskan terjemahan maupun makna yang tersurat di dalam kitab kuning dengan menggunakan bahasa tertentu supaya bisa dipaham oleh khalayak awam. Arab pegon identik dengan pesantren atau lebih tepatnya merupakan suatu metode yang digunakan di pesantren pada umumnya. Arab pegon sendiri adalah suatu ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, ungkapan tersebut bisa berbeda-beda tergantung daerah yang menggunakannya, di Sumatra kita bisa menyebut Arab pegon dengan sebutan aksara Arab-Melayu.

Arab pegon ini merupakan suatu tulisan Arab, tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal karna ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan bahasa Jawa saja, tapi juga dipakai di daerah Jawa Barat dengan menggunakan bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan bahasa Melayu. Keberadaan Arab pegon sangat erat kaitannya dengan syiar Islam di negeri kita indonesia.

Konon, para ulama menggunakan metode ini untuk mempermudah penyebaran syariat Islam. Selain itu, Arab pegon juga mempunyai kandungan sastra Jawa yang terdapat di dalam teks Arab pegon. Bahasa yang digunakan mengandung unsur sastra Jawa (ketika bahasa jawa). Mengutip dari salah satu sumber, bahwa Arab pegon juga digunakan dalam bidang sastra Jawa. Hal itu dapat teridentifikasi melalui bahasa Jawa yang digunakan dalam memaknai gandul, yaitu bahasa Jawa klasik.

Selain dijadikan sebagai ungkapan sastra Arab, pegon juga menjadi sebuah metode pendidikan yang unik, bukti bahwa Arab pegon merupakan sebuah metode yang dipakai oleh para ulama, ialah ratusan karya para ulama yang di jadikan buku dan buku-buku tersebut menerangkan tentang masalah ke agamaan seperti halnya yang saya temukan di toko kitab kuno di Cairo yang mencetak kitab-kitab klasik (maktabah Khalabi). Di situ terdapat karangan ulama luar Jawa yang menggunakan bahasa Arab pegon sebagai bahasa inti di dalam karangannya.

Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnya, sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam segi pendidikan bahasa Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya, biasa disebut dengan Ngesahi atau Ngalogat dalam menerjemahkan dan memberi makna pada “kitab kuning”.

Masih Relevankah Metode Seperti Itu?
Melihat fakta yang ada di dalam lingkup pesantren yang notabene adalah pengguna metode klasik itu, saya kira ada sisi validitas dan invaliditas. Segi valid yang saya maksud di sini adalah, peran besar metode Arab pegon dalam membantu pelajar untuk lebih memahami makna yang terdapat di dalam teks arab, entah itu dalam bentuk “kitab kuning” atau kitab-kitab yang lainnya. Proses absahnya metode ini lebih cenderung dalam meniliti kata demi kata, sehingga proses men-tarkib (istilah pelajar) dalam membaca kitab kuning bisa dibilang teliti.

Selain validitas di atas, kita juga akan menemukan invaliditas di dalam metode ini yang mana seiring dengan perkembangan zaman, buku kontemporer pun saling bermunculan dan bahasa yang digunakan pun sangat bertolak belakang dengan bahasa kitab-kitab klasik. Kitab-kitab kontemporer lebih mempunyai istilah-istilah kekinian yang mana istilah tersebut masih belum bisa diartikan atau dialihbahasakan dengan menggunakan Arab pegon.

Banyak contoh-contoh dalam istilah kontemporer yang tidak bisa dialihbahasakan dengan menggunakan bahasa daerah yang cenderung lebih bisa dimengerti oleh kaum awam. Dari segi ini, mungkin kita bisa memandang bahwa metode menggunakan Arab pegon sedikit lebih tidan relevan dengan masa sekarang. Di pandang dari metode ini tidak bisa mencakup dalam semua aspek bahasa, banyak bahasa-bahasa kekinian yang tidak bisa dialihbahasakan.

Dan juga perlu dipertimbangkan bahwa metoode Arab pegon di pandang dari masa sekarang banyak yang mengatakan terlalu bertele-tele dalam segi pengungkapannya. Sebagian mengatakan bahwa bahasa yang seyogyanya simpel, akan tetapi ketika diartikan dalam menggunakan Arab pegon malah menjadi panjang. Itu semua disebabkan faktor peralihan zaman dan berpengaruh terhadap metodologi pembelajaran dan penyampaian.

Efek Dari Penerapan Metode Klasik Ini
Banyak saya temui di daerah-daerah Jawa, bahwa penggunaan metode klasik ini kurang begitu efektif, ini berdasarkan fakta yang terdapat di dalam pesantren pada umumnya. Bahwa santri atau pelajar pada umumnya kurang bisa menangkap secara baik dengan metode seperti ini. Apalagi ketika santri tersebut berasal dari luar Jawa atau luar daerah yang cenderung pemahaman bahasanya berbeda. Dari sini akan muncul proses lambatnya kemampuan dan kurang bisa menghemat waktu. Karna pelajar yang mestinya dalam masa 1 tahun sudah bisa memahami, dalam batasan tertentu, terhambat karena kurang memahami bahasa Arab pegon. Dan juga di dalam metode ini, penjelasan tentang tata bahasa dan rumus-rumus yang terdapat di Arab pegon masih cenderung simpel. Jadi, kurang begitu luas sehingga siswa yang berasal dari luar daerah akan terhambat dikarnakan faktor bahasa yang kurang bisa dimengerti.

Faktor lainnya, kurang evisien dalam pemanfaatan waktu. Realita yang ada, proses pengajaran “kitab-kitab kuning” ala pesantren salaf cenderung memaknai satu-persatu teks Arab dengan menggunakan Arab pegon, dilanjut dengan menerangkan kandungan makna teks Arab. Coba ketika lebih dievisienkan, maka kita akan lebih menghemat waktu dengan metode menerangkan terhadap para siswa, semisal ada waktu sendri terhadap pembelajaran menggunakan metode Arab pegon.

Ketika proses seperti itu masih berjalan sampai sekarang, apakah hasil dari metode seperti itu masih sebesar jaman dahulu? Apakah tujuan dilestarikannya metode klasik seperti itu? Apakah cukup dengan menghargai metode ulama-ulama terdahulu? Itu mungkin yang harus kita teliti lebih dalam, sehingga kita dapat menemukan kelemahan dari metode itu dan memperbaiki faktor-faktor yang perlu diperbaiki, seperti kata para ulama: “Al-Muhâfazhah ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Dengan begitu kita bisa menjadikan metode yang tadinya klasik bisa terlihat modern dan manfaatnya lebih bisa terasa.

Akan tetapi, kita juga tidak menafikan peran besar metode ini dalam pengembangan agama Islam. Mungkin kalkulasi yang ada hampir 80% efek metode ini sangat terlihat dikarnakan pada era dahulu kultur Arab sudah masuk ke kalangan indonesia. Jadi, mungkin metode yang digunakan para ulama jaman dahulu melihat dari aspek tersebut, sehingga dipilihlah metode seperti itu yang sampai sekarang masih digunakan oleh pesantren.

Saya kira seperti itu unek-unek yang saya ungkapkan dalam sebuah tulisan ini. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Jika kurang berkenan mohon maaf yang sebesar besarnya.

Selain dijadikan sebagai ungkapan sastra Arab, pegon juga menjadi sebuah metode pendidikan yang unik, bukti bahwa Arab pegon merupakan sebuah metode yang dipakai oleh para ulama, ialah ratusan karya para ulama yang di jadikan buku dan buku-buku tersebut menerangkan tentang masalah ke agamaan seperti halnya yang saya temukan di toko kitab kuno di Cairo yang mencetak kitab-kitab klasik (maktabah Khalabi)

Penulis: M. Abdullah Rif'an (Alumni Al-Azhar Tanta 2010-2011)