Barangkali tidaklah berlebihan jika penulis
katakan, saat ini kita perlu mengingat kembali ungkapan terkenal Syaikh
Mohammad Abduh dalam bukunya: Islam dan Kekristenan (al-Islam wa al-Nashraniyyah).
Dalam buku tersebut, Abduh menyatakan : “Aku berlindung kepada Allah
dari politik, dari kata dan arti kata politik, dari setiap pembicaraan
politik, bahkan dari mengucapkan asal-usul kata politik (sasa-yasusu) berikut derivasinya.”
Berikut ini, secara ringkas penulis akan kemukakan beberapa refleksi penulis terkait politik tersebut:
Pertama, pernyataan Abduh itu kemungkinan
besar tidak dimaksudkan untuk menghindari politik yang lurus dan bersih,
seperti yang disinyalir oleh Imam al-Ghazali dalam ungkapannya:
“Politik itu adalah alat untuk memperbaiki keadaan manusia, yaitu dengan
cara menuntun mereka ke jalan keselamatan dunia dan akhirat.”
Sebagaimana juga tidak mungkin pernyataan tersebut dimaksudkan Abduh
untuk menjauhi politik yang sesuai dengan tuntunan syariat (as-siyasah as-syar’iyyah) sebagaimana diajarkan oleh para ulama Islam.
Politik yang lurus, bersih dan sesuai syariat adalah politik yang
mencurahkan seluruh perhatiannya demi menuntun perilaku manusia agar
selaras dengan ajaran utama dan tujuan mulia syariat Islam. Hemat
penulis, yang dimaksud politik dalam pernyataan Abduh tersebut adalah
intrik-intrik politik yang penuh dengan upaya saling sikut dan
manuver-manuver politik yang seringkali diwarnai dusta dan kebohongan.
Dalam politik macam ini, yang haram bisa menjadi halal, bahkan dusta dan
kebohongan seringkali ditampilkan secara terang-terangan.
Kedua, jika intrik politik hanya seperti
yang baru saja penulis gambarkan, mungkin hal itu tidak terlalu
merisaukan kita. Tapi yang terjadi saat ini, para politisi sudah mulai
bermain-main dengan teks-teks Al-Qur’an dan Hadis yang mulia itu, juga
sejarah Nabi Saw. yang agung. Mereka mengeksploitasi hal-hal yang sakral
dan suci tersebut untuk menarik simpati dan mengobarkan emosi
masyarakat. Dan lalu, masyarakat yang telah jatuh dalam perangkap
mereka itu diarahkan—juga dengan alasan-alasan agama—untuk meraih
kepentingan politik mereka.
Anda mungkin akan terheran-heran menyaksikan bagaimana mereka
memutarbalikkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat yang berisi janji
kemenangan bagi Nabi Saw. dan para sahabatnya, di tangan mereka berubah
menjadi janji kemenangan hanya bagi kelompok mereka sendiri. Begitu
pula, ayat-ayat yang mengandung ancaman bagi musuh Nabi Saw. dan para
sahabatnya, mereka jadikan amunisi untuk menyerang kelompok-kelompok
yang berseberangan dengan agenda politik mereka. Mereka merasa
seakan-akan telah mengetahui apa yang tersembunyi, yang sejatinya hanya
diketahui oleh Allah Swt. Tidak berhenti di situ saja. Sejarah kehidupan
Nabi Saw. juga diselewengkan dari fakta sebenarnya untuk memberi kesan
pada masyarakat awam bahwa kelompok merekalah yang perjalanan hidupnya
menyerupai perjalanan kehidupan Nabi Saw. Dan merekalah yang akhirnya
akan menang, sebagaimana sejarah Nabi Saw., sementara kelompok-kelompok
di luar mereka akan kalah dan musnah.
Para pendahulu kita, seperti Imam as-Suyuthi, pengarang al-Itqan,
telah mengingatkan kita agar jangan sekali-kali menakwilkan ayat-ayat
Al-Qur’an demi mendapatkan keuntungan duniawi. Bahkan para ulama kita
terdahulu telah menyatakan bahwa pangkal fitnah yang terjadi antara
kelompok Khawarij dengan Imam Ali R.a. adalah karena Khawarij keliru
memaknai ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat yang ditujukan kepada
orang-orang kafir mereka gunakan untuk mendiskreditkan kaum muslim
bahkan menghalalkan darah, harta dan kehormatan orang-orang Islam! Dan
pada masa kini, para penerus Khawarij ini juga menggunakan cara yang
sama dengan pendahulunya. Mereka tidak segan-segan mengafirkan
orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka lupa bahwa Nabi
Saw. telah memperingatkan: “Siapapun yang menuduh saudaranya kafir, maka
tuduhan itu berlaku bagi salah satu dari keduanya jika salah satunya
benar-benar kafir. Tapi jika tidak, maka tuduhan itu berlaku bagi si
penuduh.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Banyak orang yang mungkin tak habis pikir dengan pihak-pihak yang
mengeksploitasi teks-teks Al-Qur’an, Hadis dan sejarah hidup Nabi Saw.
untuk mendapatkan kepentingan duniawi belaka. Seakan-akan metode
pemahaman teks-teks keagamaan yang dirumuskan para ulama dari dulu
hingga kini telah lenyap dari pikiran. Bahkan warisan tradisi Islam (turats)
yang kaya seperti tak lagi berguna di hadapan orang-orang yang sengaja
ingin mencampur-adukkan kebenaran dan kebatilan, serta kejujuran dan
kebohongan.
Ketiga, orang akan lebih terkejut lagi saat menyaksikan intrik politik para politisi yang mereduksi as-siyasah as-syar’iyyah
menjadi semata nafsu merengkuh kekuasaan, sehingga menghalalkan segala
cara untuk meraih kekuasaan tersebut. Alih-alih berusaha menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat, atau mencegah penyelewengan kekuasaan dan
korupsi, mereka justru mabuk kekuasaan dan kursi pemerintahan. Bagi
mereka, kekuasaan dan pemerintahan adalah tujuan paling luhur dari
politik. Mereka lupa bahwa menurut Islam, politik dan kekuasaan hanyalah
sarana untuk menciptakan kesejahteraan yang hakiki bagi rakyat, selain
untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan moral agama dalam diri rakyat.
Jika politik seperti diajarkan syariat (as-siyasah as-syar’iyyah)
menuntun pada tujuan luhur dan mulia, maka para politisi telah
mereduksinya sedemikian rupa, sehingga kekuasaan dan pemerintahan yang
pada awalnya hanya sarana, telah berubah menjadi satu-satunya tujuan
utama, meski untuk meraihnya harus mengalirkan darah dan mengorbankan
banyak nyawa!
Keempat, Islam itu bukan hanya kekuasaan
dan pemerintahan saja. Bahkan Islam juga bukan hanya sistem
kemasyarakatan. Islam adalah menciptakan peradaban dan mewujudkan hasil
olah-pikir, serta menggerakkan keindahan rasa. Islam adalah
mendayagunakan akal, anggota badan, dan hati, karena hal-hal itulah yang
dapat memberikan petunjuk bagi mansuia untuk mewujudkan kebebasan,
keadilan, dan kemajuan. Hal-hal itu juga yang telah diajarkan Islam
kepada seluruh manusia yang beraneka ragam bahasa dan suku bangsanya,
sehingga mereka dapat terinspirasi untuk mewujudkan “surga” seperti yang
mereka idam-idamkan, yaitu keadilan, kebebasan, dan perdamaian di
seluruh dunia.
Prof. Dr. Abdul Fadhil el-Qoushi
Mantan Menteri Wakaf Mesir, Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar, dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional.
* Hak terjemahan pada @IAAI Indonesia.