Selasa, 25 Februari 2014

Islam & Intrik Politik

Barangkali tidaklah berlebihan jika penulis katakan, saat ini kita perlu mengingat kembali ungkapan terkenal Syaikh Mohammad Abduh dalam bukunya: Islam dan Kekristenan (al-Islam wa al-Nashraniyyah). Dalam buku tersebut, Abduh menyatakan : “Aku berlindung kepada Allah dari politik, dari kata dan arti kata politik, dari setiap pembicaraan politik, bahkan dari mengucapkan asal-usul kata politik (sasa-yasusu) berikut derivasinya.”

Berikut ini, secara ringkas  penulis akan kemukakan beberapa refleksi penulis terkait politik tersebut:
Pertama, pernyataan Abduh itu kemungkinan besar tidak dimaksudkan untuk menghindari politik yang lurus dan bersih, seperti yang disinyalir oleh Imam al-Ghazali dalam ungkapannya: “Politik itu adalah alat untuk memperbaiki keadaan manusia, yaitu dengan cara menuntun mereka ke jalan keselamatan dunia dan akhirat.” Sebagaimana juga tidak mungkin pernyataan tersebut dimaksudkan Abduh untuk menjauhi politik yang sesuai dengan tuntunan syariat (as-siyasah as-syar’iyyah) sebagaimana diajarkan oleh para ulama Islam.

Politik yang lurus, bersih dan sesuai syariat adalah politik yang mencurahkan seluruh perhatiannya demi menuntun perilaku manusia agar selaras dengan ajaran utama dan tujuan mulia syariat Islam. Hemat penulis, yang dimaksud politik dalam pernyataan Abduh tersebut adalah intrik-intrik politik yang penuh dengan upaya saling sikut dan manuver-manuver politik yang seringkali diwarnai dusta dan kebohongan. Dalam politik macam ini, yang haram bisa menjadi halal, bahkan dusta dan kebohongan seringkali ditampilkan secara terang-terangan.

Kedua, jika intrik politik hanya seperti yang baru saja penulis gambarkan, mungkin hal itu tidak terlalu merisaukan kita. Tapi yang terjadi saat ini, para politisi sudah mulai bermain-main dengan teks-teks Al-Qur’an dan Hadis yang mulia itu, juga sejarah Nabi Saw. yang agung. Mereka mengeksploitasi hal-hal yang sakral dan suci tersebut untuk menarik simpati dan mengobarkan emosi masyarakat. Dan lalu,  masyarakat yang telah jatuh dalam perangkap mereka itu diarahkan—juga dengan alasan-alasan agama—untuk meraih kepentingan politik mereka.

Anda mungkin akan terheran-heran menyaksikan bagaimana mereka memutarbalikkan ayat-ayat Al-Qur’an.  Ayat-ayat yang berisi janji kemenangan bagi Nabi Saw. dan para sahabatnya, di tangan mereka berubah menjadi janji kemenangan hanya bagi kelompok mereka sendiri. Begitu pula, ayat-ayat yang mengandung ancaman bagi musuh Nabi Saw. dan para sahabatnya,  mereka jadikan amunisi untuk menyerang kelompok-kelompok yang berseberangan dengan agenda politik mereka. Mereka merasa seakan-akan telah mengetahui apa yang tersembunyi, yang sejatinya hanya diketahui oleh Allah Swt. Tidak berhenti di situ saja. Sejarah kehidupan Nabi Saw. juga diselewengkan dari fakta sebenarnya untuk memberi kesan pada masyarakat awam bahwa kelompok merekalah yang perjalanan hidupnya menyerupai perjalanan kehidupan Nabi Saw. Dan merekalah yang akhirnya akan menang, sebagaimana sejarah Nabi Saw., sementara kelompok-kelompok di luar mereka akan kalah dan musnah.

Para pendahulu kita, seperti Imam as-Suyuthi, pengarang al-Itqan, telah mengingatkan kita agar jangan sekali-kali menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an demi mendapatkan keuntungan duniawi. Bahkan para ulama kita terdahulu telah menyatakan bahwa pangkal fitnah yang terjadi antara kelompok Khawarij dengan Imam Ali R.a. adalah karena Khawarij keliru memaknai ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang kafir mereka gunakan untuk mendiskreditkan kaum muslim bahkan menghalalkan darah, harta dan kehormatan orang-orang Islam! Dan pada masa kini, para penerus Khawarij ini juga menggunakan cara yang sama dengan pendahulunya. Mereka tidak segan-segan mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka lupa bahwa Nabi Saw. telah memperingatkan: “Siapapun yang menuduh saudaranya kafir, maka tuduhan itu berlaku bagi salah satu dari keduanya jika salah satunya benar-benar kafir. Tapi jika tidak, maka tuduhan itu berlaku bagi si penuduh.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Banyak orang yang mungkin tak habis pikir dengan pihak-pihak yang mengeksploitasi teks-teks Al-Qur’an, Hadis dan sejarah hidup Nabi Saw. untuk mendapatkan kepentingan duniawi belaka. Seakan-akan metode pemahaman teks-teks keagamaan yang dirumuskan para ulama dari dulu hingga kini telah lenyap dari pikiran.  Bahkan warisan tradisi Islam (turats) yang kaya seperti tak lagi berguna di hadapan orang-orang yang sengaja ingin mencampur-adukkan kebenaran dan kebatilan, serta kejujuran dan kebohongan.

Ketiga, orang akan lebih terkejut lagi saat menyaksikan intrik politik para politisi yang mereduksi as-siyasah as-syar’iyyah menjadi semata nafsu merengkuh kekuasaan, sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan tersebut. Alih-alih berusaha menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, atau mencegah penyelewengan kekuasaan dan korupsi, mereka justru mabuk kekuasaan dan kursi pemerintahan. Bagi mereka, kekuasaan dan pemerintahan adalah tujuan paling luhur dari politik. Mereka lupa bahwa menurut Islam, politik dan kekuasaan hanyalah sarana untuk menciptakan kesejahteraan yang hakiki bagi rakyat, selain untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan moral agama dalam diri rakyat. Jika politik seperti diajarkan syariat (as-siyasah as-syar’iyyah) menuntun pada tujuan luhur dan mulia, maka para politisi telah mereduksinya sedemikian rupa, sehingga kekuasaan dan pemerintahan yang pada awalnya hanya sarana, telah berubah menjadi satu-satunya tujuan utama, meski untuk meraihnya harus mengalirkan darah dan mengorbankan banyak nyawa!

Keempat, Islam itu bukan hanya kekuasaan dan pemerintahan saja. Bahkan Islam juga bukan hanya sistem kemasyarakatan. Islam adalah menciptakan peradaban dan mewujudkan hasil olah-pikir, serta menggerakkan keindahan rasa. Islam adalah mendayagunakan akal, anggota badan, dan hati, karena hal-hal itulah yang dapat memberikan petunjuk bagi mansuia untuk mewujudkan kebebasan, keadilan, dan kemajuan. Hal-hal itu juga yang telah diajarkan Islam kepada seluruh manusia yang beraneka ragam bahasa dan suku bangsanya, sehingga mereka dapat terinspirasi untuk mewujudkan “surga” seperti yang mereka idam-idamkan, yaitu keadilan, kebebasan, dan perdamaian di seluruh dunia.

Prof. Dr. Abdul Fadhil el-Qoushi
Mantan Menteri Wakaf Mesir, Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar, dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional.

* Hak terjemahan pada @IAAI Indonesia.