Keberhasilan Indonesia dalam penyelenggaraan
demokratisasi di masa lalu didukung oleh adanyaketerlibatan semua elemen
masyarakat (inclusive), baik
pemerintah termasuk militer maupun kelompok masyarakat madani (civil society) bersama-sama memiliki komitmen
untuk terus melakukan reformasi di berbagai bidang. Hal ini disampaikan oleh
Dr. Noorhaidi Hasan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Sunan
Kalijaga, Yogjakarta, yang mewakili Indonesia dalam konferensi internasional
tentang “Transitional Juctice:
Accountability and Reconciliation” yang diselenggarakan oleh National Council for Human Rights Mesir
pada tanggal 20-21 di Cairo.
Konferensi yang dibuka oleh Menteri Keadilan dan
Transisional Mesir, Mohamed Amin El-Mahdi, tersebut dihadiri oleh wakil-wakil
dari pemerintah, akademisi, think-thank, lembaga swadaya masyarakat dan korps
diplomatic di Cairo.
Dalam sambutan pembukaan konferensi tersebut, Menteri
Keadilan Transisional dan Rekonsiliasi Nasional Mesir menyampaikan, antara lain
bahwa tujuan dari penyelenggaraan konferensi ini adalah dalam rangka memberikan
rekomendasi kepada penyelenggara negara dalam rangka menegakkan sistem keadilan
transisional di Mesir.
Dijelaskan pula bahwa proses keadilan transisional
sebenarnya telah dimulai sejak Revolusi 2011 yang diperkuat dengan Keputusan
Pemerintah pada 21 Agustus 2013 dengan membentuk Komisariat Tinggi. Namun Mesir
saat ini masih membutuhkan adanya komitmen semua pihak yang kuat untuk
membangun dasar yang lebih kokoh dalam rangka mendorong maju proses transisi
politik dan keadilan yang dilakukan oleh Mesir saat ini.
Meskipun pengalaman negara-negara asing dalam
penegakkan keadilan transisional menunjukkan tidak ada sepenuhnya yang dapat
dijadikan model oleh negara lain karena perbedaan karateristik masing-masing,
namun pengalaman yang berbeda-beda tersebut dapat memberikan gambaran tentang
bagaimana negara-negara tersebut berupaya untuk melakukan penegakan hukum dan
keadilan.
Dalam presentasinya yang berjudul “Democratic Transition, Civil Society, and Pancasila: Indonesia’s Experience on Democratization”,
Dr. Noorhaidi Hasan menjelaskan bahwa sejak jatuhnya rejim Suharto, berbagai
langkah demokratisasi dan penegakkan hukum terus secara konsisten dilakukan
oleh Indonesia, meskipun hal tersebut tidak selalu berjalan mulus, akan tetapi
banyak diwarnai dengan berbagai hambatan dan tantangan, baik di era pemerintahan
Presiden BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Sukarno hingga masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak jatuhnya rejim Suharto tahun 1998, Indonesia telah melakukan berbagai langkah
demokratisasi, antara lain: amandemen konstitusi
(constitutional amandment) selama 4 kali dari tahun 1999-2002, penguatan
berbagai lembaga politik (institutional strengthening) melalui pembentukan KPU
(1998), DPD (2002), Mahkamah Konstitusi (2003), Komisi Pemberantasan Korupsi
(2003) dan Komisi Yudisial (2004).
Selain itu, langkah penting lainnya yang menjadi kunci
keberhasilan demokratisasi di Indonesia adalah adanya pemberian peran civil
society yang lebih besar dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan
jalannya pemerintahan. Hal lain yang menjadi faktor kesuksesan adalah adanya
Pancasila yang menjadi dasar dari segala pelaksanaan penyelenggaraan negara dan
mampu menjembatani segala perubahan sosial selama proses demokratisasi.
Turut memberikan paparan mengenai keadilan transisional
dari berbagai pemangku kepentingan di dalam negeri, baik dari pemerintah
maupuni lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang HAM, antara lain: Menteri
Solidaritas Sosial Mesir, Organisasi HAM Arab, Pusat Studi Pembangunan
"Ibnu Khaldun", Pusat Independen Peradilan dan Advokat Arab, Yayasan
Pembangunan dan HAM "Satu Dunia".
Sementara itu, perwakilan negara-negara asing yang turut membagi pengalamannya yaitu Mantan
Menteri HAM Maroko, Mohamed Ogar; Pejabat Kerjasama Hukum dan Peradilan
Organisasi Franconfon; Mitchell Carieh; Anggota Komnas HAM Marokko; Dr.
Noorhaidi Hasan, Dekan Fakultas Syariah, Universitas Sunan Kalijaga,
Jogjakarta, Indonesia; Dr. Pedro Carlos, Dosen Hukum Universitas Cuimbra,
Portugal dan Merius Rosomo, Sekjen Komnas HAM Burundi.
Selain menjadi narasumber dalam konferensi tersebut,
Dr. Noorhaidi Hasan juga telah bertemu dengan para ahli dari lembaga
think-thank Al Ahram Centre for Political
and Strategic Studies (ACPSS) pada tanggal 22 Oktober 2013. Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak
telah menjelaskan situasi dan kondisi masa transisi yang dialami masing-masing
negara dan berbagai hambatan dan tantangannya.
Dalam hal ini, Indonesia menjelaskan bahwa sistem
demokratisasi yang dijalankan sejak tahun 1998 menekankan adanya keterlibatan
elemen masyarakat dan memberikan ruang kebebasan kepada kelompok-kelompok
sosial politik dan agama untuk melakukan aktifitasnya. Pihak ACPSS juga
menyampaikan perkembangan penyelenggaraan masa transisi demokrasi saat ini di
Mesir termasuk berbagai langkah-langkah kebijakan dan alasan yang diambil oleh
Pemerintahan Transisi saat ini terhadap kelompok social politik dan agama
tertentu.
Kunjungan Dr. Noorhaidi Hasan di Cairo diakhiri dengan
pertemuan bersama Persatuan Pelajar/Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Mesir dalam
kesempatan Seminar Diskusi dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda bertemakan
“Pemuda dan Tantangan Masa Depan”.
Seminar yang juga diisi dengan ceramah oleh Koordinator
Pelaksana Fungsi Politik dan Atdikbud KBRI Cairo tersebut telah membahas
berbagai tantangan bangsa Indonesia di masa depan dan bagaimana pemuda
khususnya para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir turut andil di
dalamnya.
Di akhir seminar, disepakati bahwa bentuk konkrit yang
dapat dilaksanakan oleh mahasiswa saat ini di Mesir adalah tetap menjaga
persatuan dan kesatuan antar sesama mahasiswa dan bersinergi dengan KBRI dalam
rangka meningkatkan promosi Indonesia di Mesir. Yang paling penting adalah
tidak ikut campurnya para mahasiswa Indonesia dalam proses politik transisi
yang sedang dilakukan oleh Mesir saat ini.
Sumber: KBRI Cairo