Senin, 28 Oktober 2013

Indonesia Berbagi Pengalaman Demokratisasi Kepada Mesir

Keberhasilan Indonesia dalam penyelenggaraan demokratisasi di masa lalu didukung oleh adanyaketerlibatan semua elemen masyarakat (inclusive), baik pemerintah termasuk militer maupun kelompok masyarakat madani (civil society) bersama-sama memiliki komitmen untuk terus melakukan reformasi di berbagai bidang. Hal ini disampaikan oleh Dr. Noorhaidi Hasan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Sunan Kalijaga, Yogjakarta, yang mewakili Indonesia dalam konferensi internasional tentang “Transitional Juctice: Accountability and Reconciliation” yang diselenggarakan oleh National Council for Human Rights Mesir pada tanggal 20-21 di Cairo.

Konferensi yang dibuka oleh Menteri Keadilan dan Transisional Mesir, Mohamed Amin El-Mahdi, tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari pemerintah, akademisi, think-thank, lembaga swadaya masyarakat dan korps diplomatic di Cairo.

Dalam sambutan pembukaan konferensi tersebut, Menteri Keadilan Transisional dan Rekonsiliasi Nasional Mesir menyampaikan, antara lain bahwa tujuan dari penyelenggaraan konferensi ini adalah dalam rangka memberikan rekomendasi kepada penyelenggara negara dalam rangka menegakkan sistem keadilan transisional di Mesir.

Dijelaskan pula bahwa proses keadilan transisional sebenarnya telah dimulai sejak Revolusi 2011 yang diperkuat dengan Keputusan Pemerintah pada 21 Agustus 2013 dengan membentuk Komisariat Tinggi. Namun Mesir saat ini masih membutuhkan adanya komitmen semua pihak yang kuat untuk membangun dasar yang lebih kokoh dalam rangka mendorong maju proses transisi politik dan keadilan yang dilakukan oleh Mesir saat ini.

Meskipun pengalaman negara-negara asing dalam penegakkan keadilan transisional menunjukkan tidak ada sepenuhnya yang dapat dijadikan model oleh negara lain karena perbedaan karateristik masing-masing, namun pengalaman yang berbeda-beda tersebut dapat memberikan gambaran tentang bagaimana negara-negara tersebut berupaya untuk melakukan penegakan hukum dan keadilan. 

Dalam presentasinya yang berjudul “Democratic Transition, Civil Society, and Pancasila: Indonesia’s Experience on Democratization”, Dr. Noorhaidi Hasan menjelaskan bahwa sejak jatuhnya rejim Suharto, berbagai langkah demokratisasi dan penegakkan hukum terus secara konsisten dilakukan oleh Indonesia, meskipun hal tersebut tidak selalu berjalan mulus, akan tetapi banyak diwarnai dengan berbagai hambatan dan tantangan, baik di era pemerintahan Presiden BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Sukarno hingga masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejak jatuhnya rejim Suharto tahun 1998,  Indonesia telah melakukan berbagai langkah demokratisasi, antara lain:  amandemen konstitusi (constitutional amandment) selama 4 kali dari tahun 1999-2002, penguatan berbagai lembaga politik (institutional strengthening) melalui pembentukan KPU (1998), DPD (2002), Mahkamah Konstitusi (2003), Komisi Pemberantasan Korupsi (2003) dan Komisi Yudisial (2004).

Selain itu, langkah penting lainnya yang menjadi kunci keberhasilan demokratisasi di Indonesia adalah adanya pemberian peran civil society yang lebih besar dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan jalannya pemerintahan. Hal lain yang menjadi faktor kesuksesan adalah adanya Pancasila yang menjadi dasar dari segala pelaksanaan penyelenggaraan negara dan mampu menjembatani segala perubahan sosial selama proses demokratisasi.

Turut memberikan paparan mengenai keadilan transisional dari berbagai pemangku kepentingan di dalam negeri, baik dari pemerintah maupuni lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang HAM, antara lain: Menteri Solidaritas Sosial Mesir, Organisasi HAM Arab, Pusat Studi Pembangunan "Ibnu Khaldun", Pusat Independen Peradilan dan Advokat Arab, Yayasan Pembangunan dan HAM "Satu Dunia".

Sementara itu, perwakilan negara-negara asing yang  turut membagi pengalamannya yaitu Mantan Menteri HAM Maroko, Mohamed Ogar; Pejabat Kerjasama Hukum dan Peradilan Organisasi Franconfon; Mitchell Carieh; Anggota Komnas HAM Marokko; Dr. Noorhaidi Hasan, Dekan Fakultas Syariah, Universitas Sunan Kalijaga, Jogjakarta, Indonesia; Dr. Pedro Carlos, Dosen Hukum Universitas Cuimbra, Portugal dan Merius Rosomo, Sekjen Komnas HAM Burundi.

Selain menjadi narasumber dalam konferensi tersebut, Dr. Noorhaidi Hasan juga telah bertemu dengan para ahli dari lembaga think-thank Al Ahram Centre for Political and Strategic Studies (ACPSS) pada tanggal 22 Oktober 2013.  Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak telah menjelaskan situasi dan kondisi masa transisi yang dialami masing-masing negara dan berbagai hambatan dan tantangannya.

Dalam hal ini, Indonesia menjelaskan bahwa sistem demokratisasi yang dijalankan sejak tahun 1998 menekankan adanya keterlibatan elemen masyarakat dan memberikan ruang kebebasan kepada kelompok-kelompok sosial politik dan agama untuk melakukan aktifitasnya. Pihak ACPSS juga menyampaikan perkembangan penyelenggaraan masa transisi demokrasi saat ini di Mesir termasuk berbagai langkah-langkah kebijakan dan alasan yang diambil oleh Pemerintahan Transisi saat ini terhadap kelompok social politik dan agama tertentu. 

Kunjungan Dr. Noorhaidi Hasan di Cairo diakhiri dengan pertemuan bersama Persatuan Pelajar/Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Mesir dalam kesempatan Seminar Diskusi dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda bertemakan “Pemuda dan Tantangan Masa Depan”.

Seminar yang juga diisi dengan ceramah oleh Koordinator Pelaksana Fungsi Politik dan Atdikbud KBRI Cairo tersebut telah membahas berbagai tantangan bangsa Indonesia di masa depan dan bagaimana pemuda khususnya para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir turut andil di dalamnya.

Di akhir seminar, disepakati bahwa bentuk konkrit yang dapat dilaksanakan oleh mahasiswa saat ini di Mesir adalah tetap menjaga persatuan dan kesatuan antar sesama mahasiswa dan bersinergi dengan KBRI dalam rangka meningkatkan promosi Indonesia di Mesir. Yang paling penting adalah tidak ikut campurnya para mahasiswa Indonesia dalam proses politik transisi yang sedang dilakukan oleh Mesir saat ini. 

Sumber: KBRI Cairo